Penulis: Sam Edy
Yuswanto
Allohumma atsqinaa
ghoitsammughiitsaa…
Walaa taj'alnaa minal qoonithiin*
Kalimat pujian itu kembali mengudara
sengau dari corong yang tercagak di atap seng surau lapuk kampung kecil itu.
Tepatnya usai azan shalat lima waktu. Kemarau panjang benar-benar membikin
warga kampung kelimpungan. Karena ladang-ladang mereka berubah mengerontang.
Hingga tanah gembur yang semula subur kini meranggas. Pecah-pecah seperti usai
terhempas gempa.
Hingga di suatu petang, entah siapa
yang memulai, warga kampung berkumpul dan merundingkan sesuatu di rumah Pak
lurah. Lantas, mereka berbondong menuju rumah Pak Kiai Karim--Kiai sepuh usia
78--guna memohon beliau agar mengumandangkan kembali pujian-pujian yang berisi
doa minta hujan pada Tuhan.
Sebagaimana sebelumnya, doa-doa
pujian itu diimani warga sebagai jimat mujarab yang langsung membuat Tuhan
merasa trenyuh, lantas menitah sang langit agar selekasnya mencurahkan air ke
area ladang-ladang gersang mereka.
“Tolong Pak Kiai, kumandangkan lagi
puji-pujian itu, agar ladang-ladang warga tak lagi kering,” pinta Pak lurah
dengan wajah berbias sendu. Warga memang memohon Pak lurah untuk menjadi juru
bicara kesah mereka.
Pak Kiai Karim nampak manggut-manggut
mendengar permohonan Pak lurah seraya mengelus-elus jenggotnya yang panjang dan
sudah didominasi warna putih.
“Saya sifatnya hanya membantu dengan
doa. Jika nanti dikabulkan, itu memang karena Allah yang paling tahu apa yang
terbaik buat hamba-Nya. Tapi, seandainya belum terkabul, kalian jangan kecewa,
lantas menyalahkan-Nya. Karena Allah pasti selalu mempunyai rencana lain di
balik semua keputusan-Nya.”
Wejangan Pak Kiai membuat warga
kampung manggut-manggut sepenuh takzim. Entah, apakah petuah imam dan pengajar
ngaji di surau lapuk di ujung kampung mereka itu benar-benar masuk ke dalam
lubuk sanubari mereka. Atau hanya sekedar menelusupi telinga kanan, lalu
terbirit melalui telinga kiri.
“Dan, yang harus kalian ingat, mari
kita ramaikan kembali surau kita dengan pengajian, penuhi shaf-shaf shalatnya,
jangan hanya karena kita sedang kesulitan saja lantas membuat kita ingat
pada-Nya,” lanjut Pak Kiai.
Sebenarnya telah berkali Pak Kiai
berwejang senada sebagaimana sebelumnya saat kemarau datang dan warga kampung
berkumpul untuk memohon beliau agar memanjatkan pujian hujan. Namun pada
kenyataannya, besok, besok dan besoknya, tetap tak ada warga yang sudi
menyambangi surau.
“Iya, Pak Kiai. Kalau begitu saya
permisi dulu, saya atas nama warga kampung menyampaikan beribu terima kasih
karena Pak Kiai telah sudi menolong kami,” kata Pak lurah sebelum akhirnya
mohon pamit.
***
Lima hari sudah, Pak Kiai Karim
kembali melantunkan pujian hujan dengan suara khas seraknya. Dan seperti
tahun-tahun sebelumnya, tak ada warga yang sudi mampir ke suraunya yang kian
lapuk digerogoti rayap, karena memang tak ada warga yang terpanggil jiwa
sosialnya untuk membangun atau memperbaiki surau tua itu. Bahkan sekedar ikut
ngrewangi Pak Kiai membersihkan surau pun mereka enggan.
Dan lagi-lagi, yang menghidupkan
surau lapuk itu hanya Pak Kiai seorang diri. Membersihkan surau sendiri. Azan
dan iqamat sendiri. Menjadi imam sendiri. Tanpa ada sesiapa yang sudi berdiri
di belakangnya untuk meraih pahala 27 derajat yang telah dijanjikan Allah pada
setiap hamba-Nya.
Dulu, tepatnya 10 tahun silam, setiap
Magrib hingga Isya, surau itu cukup ramai buat shalat berjamaah dan mengaji.
Pak Kiai sama sekali tak merasa dibuat repot, apalagi mengumbar keluh. Bersebab
waktu itu beliau dibantu dua putranya, Warman dan Teguh, untuk mengajari
mengaji warga kampung tiap malam.
Namun, yang namanya
takdir memang sesuatu yang sesiapa pun tak mampu menebaknya. Warman meninggal
karena kecelakaan. Ia menjadi korban tabrak lari. Setahun , menyusul putra
kedua, Teguh, yang tersambar petir saat sedang menyiangi rumput di ladang. Kini
Pak Kiai hidup sendiri. Sebatangkara. Sementara istrinya sudah lama meninggal,
tepatnya saat Teguh masih usia lima tahun.
Berselang tahun, semenjak listrik
merambah kampung dan warga mulai mengenal televisi dan parabola, perubahan
besar-besaran pun terjadi. Sebagian besar penduduk beramai-ramai membeli benda
elektronik dan payung raksasa ajaib itu. Yang belum mampu beli televisi, mereka
berbondong menebeng di rumah tetangga atau sanak famili yang sudah memiliki
televisi.
Sejak saat itulah, perlahan namun
pasti, warga mulai jarang menyambangi surau. Bahkan beberapa bulan berselang,
tak ada lagi yang sudi mampir ke surau itu lagi. Acara-acara televisi itu
sepertinya telah menyihir warga untuk tak beranjak walau barang sejenak. Saat
senja lamat-lamat tersaput gelap, para warga justru sedang bermasyuk-ria di
depan kotak kaca ajaib yang tak kenal kata 'rehat' itu. Hanya tinggal rumah Pak
Kiai Karim saja yang tak ada pesawat televisinya. Dan hanya beliau satu-satunya
warga yang masih sudi menghidupkan suraunya yang kian lapuk, selapuk usianya
yang telah pasrah menunggu dijemput Izrail.
# # #
Telah lewat masa seminggu, pujian
hujan itu menguar dari mulut serak Pak Kiai Karim. Namun, tak serintik air
langit pun yang sudi menetesi bumi. Dan itu membuat warga dirundung gelisah,
nyaris memutus asa dan mulai bersyakwasangka doa Pak Kiai tak seampuh dulu
lagi.
“Kok, ndak kayak tahun kemarin ya,
Nem. Biasanya puji-pujian Pak Kiai cukup ampuh, kalau ndak langsung turun hujan
ya paling tidak langit terlihat mendung dan gerimis,” kata Dahlan pada Inem,
istrinya, yang sedang duduk manis menonton tayangan sinetron bersambung.
“Iyo, Pak. Apa mungkin doa Pak Kiai
Karim sudah ndak ampuh lagi?” Inem melengos sebentar dari televisinya,
memandang suaminya dengan mengerut dahi.
Dahlan mengiyakan ucapan istrinya
sambil menghirup cangkir kopi dan mengisap rokok lintingannya.
“Mudah-mudahan saja Gusti Alloh mau
mendengar doa Pak Kiai, yo, Pak,” sejatinya, jauh di dasar lubuk hati, Inem
masih menyisa harap, doa Pak Kiai masih sedahsyat dulu.
***
Namun ternyata, besok dan besoknya,
hujan masih belum turun. Bahkan warga kampung sempat bertanya-tanya bersebab di
pagi itu tak lagi terdengar suara azan Subuh dan pujian hujan mengumandang dari
suraunya Pak Kiai Karim. Merasa masih punya harapan, Inem menyuruh suaminya
agar menyambangi rumah Pak Kiai guna menanyakan alasan; mengapa tak lagi
mengumandangkan pujian pengundang hujan?
Dahlan pun menggesa langkah menuju
kediaman Pak Kiai Karim. Namun, setiba di sana, ternyata rumah Pak Kiai kosong.
Oh, mungkin beliau sedang ber-dhuha di surau, begitu terka benak Dahlan.
Alangkah terkejutnya ia, ketika Pak Kiai Karim ditemukan tergeletak di
pengimaman surau.
Tubuh Pak Kiai telah kaku, kepalanya
berlumur darah yang hampir mengering tertimpa kayu penyangga atap yang sudah
lapuk. Tergesa Dahlan menyambar mikrofon yang tergeletak di lantai mihrab.
Lantas dengan bibir bergetar ia memberitahukan kabar duka itu kepada warga
kampung.
Dalam hitungan menit, warga kampung
telah berjubel di halaman surau. Mereka terkesima dengan kejadian tragis yang
menimpa Pak Kiai Karim. Raut prihatin dan sedih memancar dari wajah-wajah
warga, meskipun tak ada seorang pun yang menitikkan air mata, apalagi meratapi
kepergiannya.
Setelah jenazah Pak Kiai Karim
dikebumikan, langit yang semula berwarna biru cerah mendadak pucat tergulung
mendung yang dalam sekejap meratai seluruh petala langit. Guntur dan kilat
saling bersaut membelah langit yang berkalang durja. Angin mendadak bertiup
kencang tak tentu arah, memintal dedaunan kering dan debu-debu pekuburan. Dalam
bilangan detik, langit yang berkalang mendung tak kuasa menahan diri lagi untuk
tak memuncratkan airnya ke seluruh mayapada.
Warga panik. Lintang pukang menuju
rumah masing-masing dengan baju menguyup. Sementara hujan masih belum reda.
Malah kian menderas. Suara rentet petir sesekali meruangi udara yang dingin.
Keesokan harinya, warga dibuat
terperangah saat ke luar rumah. Hujan yang turun sejak kemarin siang hingga
larut malam menimbulkan air bah setinggi betis-betis orang dewasa.
***
Puring-Kebumen, 2011
Catatan:
*Ya Allah, semoga Engkau berkenan
menurunkan hujan kepada kami, dan janganlah Engkau jadikan kami termasuk
golongan orang-orang yang memutus rahmat-Mu
sumber: Annida