fnc muslimah


Tak banyak yang dapat kita perbincangkan lagi
Tak banyak waktu untuk aku bersua denganmu
Ribuan puisi yang kucipta
Ribuan sajak yang kulisankan
Itu adalah titik-titik hati yang kulukis dimataku
Aku merindukanmu
Sungguh..
Bahkan jika aku ingin merangkainya sekarang
Aku akan menyampaikan bahwa
“Sungai terpanjang setelah nil adalah rinduku”
Cinta bukan hanya sekedar kata
Dan cintaku padamu masih ada
Bahkan ketika dunia berkata
Waktuku telah habis untuk mencintaimu
Disaat aku mengingatmu mungkin
Kamu.. sedang tertawa dengan yang lain
Kenapa aku hanya menginginkanmu?
Kenapa pula aku hanya memujamu?
Apa harapan yang telah kupupuk ini terlalu besar?
Terlalu berangan-angan dan bermimpi
Sedang terus menerus aku merapal doa
Agar kamu yang dijodohkan untukku
Aku tahu, aku sungguh egois
Aku memerintah tuhan untuk menjadikanmu milikku
Tapi aku juga tak mengerti kenapa?
Walau banyak diantara mereka memproklamirkan cinta kepadaku
Tapi hatiku masih berhenti dikamu
Bagaimana takdir akan membawaku?
Bagaimana kisah kita akan berakhir?
Apakah hanya akan berhenti disini
Dalam sebuah nama “PERSAHABATAN”

Januari, 2013
fnc muslimah


Penulis: Sam Edy Yuswanto



Allohumma atsqinaa ghoitsammughiitsaa…

Walaa taj'alnaa minal qoonithiin*



Kalimat pujian itu kembali mengudara sengau dari corong yang tercagak di atap seng surau lapuk kampung kecil itu. Tepatnya usai azan shalat lima waktu. Kemarau panjang benar-benar membikin warga kampung kelimpungan. Karena ladang-ladang mereka berubah mengerontang. Hingga tanah gembur yang semula subur kini meranggas. Pecah-pecah seperti usai terhempas gempa.

Hingga di suatu petang, entah siapa yang memulai, warga kampung berkumpul dan merundingkan sesuatu di rumah Pak lurah. Lantas, mereka berbondong menuju rumah Pak Kiai Karim--Kiai sepuh usia 78--guna memohon beliau agar mengumandangkan kembali pujian-pujian yang berisi doa minta hujan pada Tuhan.

Sebagaimana sebelumnya, doa-doa pujian itu diimani warga sebagai jimat mujarab yang langsung membuat Tuhan merasa trenyuh, lantas menitah sang langit agar selekasnya mencurahkan air ke area ladang-ladang gersang mereka.

“Tolong Pak Kiai, kumandangkan lagi puji-pujian itu, agar ladang-ladang warga tak lagi kering,” pinta Pak lurah dengan wajah berbias sendu. Warga memang memohon Pak lurah untuk menjadi juru bicara kesah mereka.

Pak Kiai Karim nampak manggut-manggut mendengar permohonan Pak lurah seraya mengelus-elus jenggotnya yang panjang dan sudah didominasi warna putih.

“Saya sifatnya hanya membantu dengan doa. Jika nanti dikabulkan, itu memang karena Allah yang paling tahu apa yang terbaik buat hamba-Nya. Tapi, seandainya belum terkabul, kalian jangan kecewa, lantas menyalahkan-Nya. Karena Allah pasti selalu mempunyai rencana lain di balik semua keputusan-Nya.”

Wejangan Pak Kiai membuat warga kampung manggut-manggut sepenuh takzim. Entah, apakah petuah imam dan pengajar ngaji di surau lapuk di ujung kampung mereka itu benar-benar masuk ke dalam lubuk sanubari mereka. Atau hanya sekedar menelusupi telinga kanan, lalu terbirit melalui telinga kiri.

“Dan, yang harus kalian ingat, mari kita ramaikan kembali surau kita dengan pengajian, penuhi shaf-shaf shalatnya, jangan hanya karena kita sedang kesulitan saja lantas membuat kita ingat pada-Nya,” lanjut Pak Kiai.

Sebenarnya telah berkali Pak Kiai berwejang senada sebagaimana sebelumnya saat kemarau datang dan warga kampung berkumpul untuk memohon beliau agar memanjatkan pujian hujan. Namun pada kenyataannya, besok, besok dan besoknya, tetap tak ada warga yang sudi menyambangi surau.

“Iya, Pak Kiai. Kalau begitu saya permisi dulu, saya atas nama warga kampung menyampaikan beribu terima kasih karena Pak Kiai telah sudi menolong kami,” kata Pak lurah sebelum akhirnya mohon pamit.

***

Lima hari sudah, Pak Kiai Karim kembali melantunkan pujian hujan dengan suara khas seraknya. Dan seperti tahun-tahun sebelumnya, tak ada warga yang sudi mampir ke suraunya yang kian lapuk digerogoti rayap, karena memang tak ada warga yang terpanggil jiwa sosialnya untuk membangun atau memperbaiki surau tua itu. Bahkan sekedar ikut ngrewangi Pak Kiai membersihkan surau pun mereka enggan.

Dan lagi-lagi, yang menghidupkan surau lapuk itu hanya Pak Kiai seorang diri. Membersihkan surau sendiri. Azan dan iqamat sendiri. Menjadi imam sendiri. Tanpa ada sesiapa yang sudi berdiri di belakangnya untuk meraih pahala 27 derajat yang telah dijanjikan Allah pada setiap hamba-Nya.

Dulu, tepatnya 10 tahun silam, setiap Magrib hingga Isya, surau itu cukup ramai buat shalat berjamaah dan mengaji. Pak Kiai sama sekali tak merasa dibuat repot, apalagi mengumbar keluh. Bersebab waktu itu beliau dibantu dua putranya, Warman dan Teguh, untuk mengajari mengaji warga kampung tiap malam.

Namun, yang namanya takdir memang sesuatu yang sesiapa pun tak mampu menebaknya. Warman meninggal karena kecelakaan. Ia menjadi korban tabrak lari. Setahun , menyusul putra kedua, Teguh, yang tersambar petir saat sedang menyiangi rumput di ladang. Kini Pak Kiai hidup sendiri. Sebatangkara. Sementara istrinya sudah lama meninggal, tepatnya saat Teguh masih usia lima tahun.

Berselang tahun, semenjak listrik merambah kampung dan warga mulai mengenal televisi dan parabola, perubahan besar-besaran pun terjadi. Sebagian besar penduduk beramai-ramai membeli benda elektronik dan payung raksasa ajaib itu. Yang belum mampu beli televisi, mereka berbondong menebeng di rumah tetangga atau sanak famili yang sudah memiliki televisi.

Sejak saat itulah, perlahan namun pasti, warga mulai jarang menyambangi surau. Bahkan beberapa bulan berselang, tak ada lagi yang sudi mampir ke surau itu lagi. Acara-acara televisi itu sepertinya telah menyihir warga untuk tak beranjak walau barang sejenak. Saat senja lamat-lamat tersaput gelap, para warga justru sedang bermasyuk-ria di depan kotak kaca ajaib yang tak kenal kata 'rehat' itu. Hanya tinggal rumah Pak Kiai Karim saja yang tak ada pesawat televisinya. Dan hanya beliau satu-satunya warga yang masih sudi menghidupkan suraunya yang kian lapuk, selapuk usianya yang telah pasrah menunggu dijemput Izrail.

# # #

Telah lewat masa seminggu, pujian hujan itu menguar dari mulut serak Pak Kiai Karim. Namun, tak serintik air langit pun yang sudi menetesi bumi. Dan itu membuat warga dirundung gelisah, nyaris memutus asa dan mulai bersyakwasangka doa Pak Kiai tak seampuh dulu lagi.

“Kok, ndak kayak tahun kemarin ya, Nem. Biasanya puji-pujian Pak Kiai cukup ampuh, kalau ndak langsung turun hujan ya paling tidak langit terlihat mendung dan gerimis,” kata Dahlan pada Inem, istrinya, yang sedang duduk manis menonton tayangan sinetron bersambung.

“Iyo, Pak. Apa mungkin doa Pak Kiai Karim sudah ndak ampuh lagi?” Inem melengos sebentar dari televisinya, memandang suaminya dengan mengerut dahi.

Dahlan mengiyakan ucapan istrinya sambil menghirup cangkir kopi dan mengisap rokok lintingannya.

“Mudah-mudahan saja Gusti Alloh mau mendengar doa Pak Kiai, yo, Pak,” sejatinya, jauh di dasar lubuk hati, Inem masih menyisa harap, doa Pak Kiai masih sedahsyat dulu.

***

Namun ternyata, besok dan besoknya, hujan masih belum turun. Bahkan warga kampung sempat bertanya-tanya bersebab di pagi itu tak lagi terdengar suara azan Subuh dan pujian hujan mengumandang dari suraunya Pak Kiai Karim. Merasa masih punya harapan, Inem menyuruh suaminya agar menyambangi rumah Pak Kiai guna menanyakan alasan; mengapa tak lagi mengumandangkan pujian pengundang hujan?

Dahlan pun menggesa langkah menuju kediaman Pak Kiai Karim. Namun, setiba di sana, ternyata rumah Pak Kiai kosong. Oh, mungkin beliau sedang ber-dhuha di surau, begitu terka benak Dahlan. Alangkah terkejutnya ia, ketika Pak Kiai Karim ditemukan tergeletak di pengimaman surau.

Tubuh Pak Kiai telah kaku, kepalanya berlumur darah yang hampir mengering tertimpa kayu penyangga atap yang sudah lapuk. Tergesa Dahlan menyambar mikrofon yang tergeletak di lantai mihrab. Lantas dengan bibir bergetar ia memberitahukan kabar duka itu kepada warga kampung.

Dalam hitungan menit, warga kampung telah berjubel di halaman surau. Mereka terkesima dengan kejadian tragis yang menimpa Pak Kiai Karim. Raut prihatin dan sedih memancar dari wajah-wajah warga, meskipun tak ada seorang pun yang menitikkan air mata, apalagi meratapi kepergiannya.

Setelah jenazah Pak Kiai Karim dikebumikan, langit yang semula berwarna biru cerah mendadak pucat tergulung mendung yang dalam sekejap meratai seluruh petala langit. Guntur dan kilat saling bersaut membelah langit yang berkalang durja. Angin mendadak bertiup kencang tak tentu arah, memintal dedaunan kering dan debu-debu pekuburan. Dalam bilangan detik, langit yang berkalang mendung tak kuasa menahan diri lagi untuk tak memuncratkan airnya ke seluruh mayapada.

Warga panik. Lintang pukang menuju rumah masing-masing dengan baju menguyup. Sementara hujan masih belum reda. Malah kian menderas. Suara rentet petir sesekali meruangi udara yang dingin.

Keesokan harinya, warga dibuat terperangah saat ke luar rumah. Hujan yang turun sejak kemarin siang hingga larut malam menimbulkan air bah setinggi betis-betis orang dewasa.

***
Puring-Kebumen, 2011



Catatan:

*Ya Allah, semoga Engkau berkenan menurunkan hujan kepada kami, dan janganlah Engkau jadikan kami termasuk golongan orang-orang yang memutus rahmat-Mu
 sumber: Annida
Label: 0 komentar |