fnc muslimah
Dear Sahabatku


Persahabatan kita telah berjalan lama sekali, bukan hanya setahun atau dua tahun tapi sudah terlampau lama dan berdebu, kita sudah saling mengerti satu sama lain, kau tahu aku, dan aku tahu dirimu, apa yang disuka atau apa yang tidak disuka. ukhuwah ini begitu nyata, begitu erat dan sepertinya sulit untuk dijelaskan, selama ini kita saling berbagi cerita baik senang maupun yang menyedihkan baik kemanisan maupun kepahitan. tapi ketika suatu hari kau menjelaskan tentang dia, tentang seorang yang kau cinta aku sungguh tertegun mendengarnya. kau menceritakan tentang seseorang yang telah meluluh lantakkan pertahanmu, kau tidak mengenalkannya padaku, tapi ku yakin ia adalah pria yang baik, kupahami itu adalah hak mu dan aku turut senang mendengarnya, tapi ketika kau bilang "besok aku akan menikah" aku benar-benar seperti diterpa guntur, bagaimana mungkin kau menceritakan hal sespesial itu satu hari sebelum pernikahanmu? ini seperti sebuah penyakit yang akan menumbuhkan penyakit baru dalam ukhuwah kita. kau mulai melupakan aku, mana kewajiban untuk menceritakan apa yang ada dibenak kita kurasa kau telah melupakannya. kau menikah dengan mendadak itu yang ku tahu, tanpa persiapan, tanpa pesta pernikahan yang mewah, semua wanita pasti ingin yang terbaik dihari yang membahagiakan untuknya. tapi dengan keadaan seperti itu kau ikhlas, kau tetap ceria dan menerima apa adanya, aku sungguh terharu melihatnya. dengan santapan ala kadarnya, dengan tamu yang hanya tetangga, keluarga dan teman terdekat saja itu cukup bagimu. subhanallah kau memang muslimah yang baik sahabatku. cintamu kepadanya yang telah membuatmu ikhlas akan keadaan yang ada. tapi ketika ibumu berkata kepadaku "sebenarnya ibu ingin iah menyelesaikan kuliahnya dulu, sekarang setelah ini iah pasti tidak bisa selesai, belum lagi kalau nanti iah punya anak, Ibu juga maunya iah bantu ibu nyekolahin 5 adiknya dulu" kulihat gurat kegelisahan dalam wajah ibumu sahabatku, beliau tidak ikhlas membiarkanmu pergi. seperti sebuah paradigma lama kalau lamaran datang tidak boleh ditolak, mungkin itulah alasan mengapa lamaran pria itu diterima keluargamu meskipun dalam keadaan sulit. saat kutanya kepadamu akan kesiapanmu waktu itu kau menjawab "aku sudah lama berhubungan dengannya tapi aku tak pernah menceritakannya kepadamu jadi setelah hubungan itu mau apa lagi kalau tidak menikah, dari pada berdosa" dengan gigih kau menjawab. aku merasa kau sudah mantap dengan keputusanmu itu karena itu aku mendukungmu, walau aku melihat sebuah nuansa yang mengiris hati, bagaimana nanti keluargamu setelah kau tinggalkan? siapa yang akan membiayai adikmu? kau jelas tahu ayah dan ibumu hanya bisa bertahan untuk makan saja. tapi kau bilang "nanti mas akan bantu aku" begitu kau meyakinkan aku dan keluargamu bahwa kau akan bahagia.
-----------------------------------------------------------------------------

Pada hari pernikahanmu itu, aku datang bersama sahabat-sahabat kita, kau disana terlihat sangat cantik dengan gamis bunga berwarna biru yang indah bukan dengan kebaya yang biasanya memeriahkan adat kita. kau menyalami kami dan memeluk kami, kami pun mengucapkan selamat kepadamu, kau dan keluargamu menyuruh kami masuk dan mencicipi hidangan, tapi dimana suamimu? apa karena aku dan teman-teman datang di malam hari? tapi waktu baru menunjukkan pukul 8 malam? terlalu terlambatkah tamu berkunjung? kalau bukan karena pekerjaan, kami mungkin akan datang di siang atau pagi hari sewaktu akad nikahmu. ketika ku tanyakan kau menjawab "ada diluar lagi gobrol sama saudara" Iah, sahabatku sayang meskipun itu kamu atau siapa pun bukankah sebaiknya suamimu ada bersama kami, menjamu kedatangan kami, mengenal kami sahabat-sahabatmu, tidakkah ia harusnya tahu, atau memang seperti inikah sikap suamimu? bagaimana kami bisa mengenalnya? bagaimana harapanmu untuk kita selalu bersahabat sampai kakek nenek akan terwujud? Iah aku dan teman-teman benar-benar tidak mengerti ini. sepertinya kami akan kehilanganmu.
-----------------------------------------------------------------------------

Hari itu kami mengadakan buka puasa kau pun menjanjikan akan datang, sahabat-sahabatmu sangat antusias sekali menunggumu setelah 2 bulan pernikahanmu untuk mendengarkan cerita yang menarik darimu. kami menunggumu begitu lama sampai magrib akan datang setengah jam lagi. kau datang bersama suamimu, kau masuk kedalam rumah tapi tidak suamimu ia menunggu diluar, kami sudah menyuruh suamimu untuk masuk tapi ia tetap tidak bergeming, kau duduk dan berkata dengan lirihnya dengan ucapan maaf yang keluar dari bibir beserta nafas yang tersendat-sendat, kau harus pulang karena tidak boleh oleh suamimu. aku pun langsung mengiyakan dan mempersilakanmu pulang. tapi teman-teman kita sungguh kecewa sahabatku, sesungguhnya aku pun sama, mana janjimu yang dulu yang mengatakan" aku tidak akan berubah" tapi hari itu ku katakan kepada mereka sepertinya kamu sedang berbadan dua melihat nafasmu yang pendek-pendek, dan tubuhmu yang terlihat lebih gemuk, jadi tidak masalah kau tidak ikut, itu yang kukatakan pada mereka. tapi kemudian mereka mencerna kembali, mengapa sikap suamimu seperti itu,  menurut mereka bersopan santunlah dulu, masuk dan izinkanlah dirimu kepada kami, tidak seperti itu, diluar dan diam saja. kami jadi ragu apakah kau menikah dengan orang yang tepat.
-----------------------------------------------------------------------------

Aku sedang tidak dirumah tadi sedang belanja diwarung, adikku mengatakan kau datang bersama suamimu tetapi tidak masuk dan hanya menyerahkan dua lembar uang 50 ribu rupiah tanpa tambahan kata apapun. ketika kusampai adikku berkata kau datang menyerahkan uang. aku teringat akan gamis baru yang kuberikan kepadamu karena aku tidak muat, sahabatku apa aku pernah meminta ganti atas apa yang ku berikan padamu? aku ikhlas kenapa kau menggantinya dengan uang? dan juga dengan cara seperti itu? ini bukan dirimu, aku yakin ini bukan dirimu. seharusnya kau tunggu aku baru serahkan maksudmu, bagaimana mungkin kau meninggalkannya tanpa bertanya aku dahulu. disinilah penyakit itu menjamur, entah apa yang terjadi sesungguhnya padamu sahabatku... semua akan terjawab pada saatnya.
-------------------------------------------------------------------------------

Beberapa waktu yang lama aku tidak menengokmu sahabatku, karena tugas kuliah yang menumpuk, seminar praskripsi yang harus diselesaikan, serta kesibukanku mengajar membuatku tidak sempat mengunjungimu, tapi kalaupun aku akan berkunjung haruskah aku ketempat mertuamu, tahu saja tidak bagaimana aku akan kesana, tapi ketika kutemukan statusmu yang mengatakan ibumu sakit, dan ada titipan undangan pernikahn dari sahabat kita yang harus ku sampaikan kepadamu, aku datang, dan kau ada disana, dengan perut yang sudah agak membesar, "sudah berapa bulankah?" kau jawab "alhamdulillah sudah 5 bulan" ya..fisikmu berubah, menjadi gemuk dan tidak kurus seperti dulu, itulah resiko menjadi seorang ibu sahabatku, belum lagi ketika amanah Allah itu nanti datang ke dunia ini, tentunya kamu akan tambah repot. pikirku. ku amati rumahmu ketika terakhir kali aku datang saat pesta pernikahanmu dulu, tiak ada yang berubah, semua masih sama, hanya saja kulihat guratan sendu diwajah ibumu yang sudah terlampau tua dan ayahmu yang juga tampak semakin ringkih dan lelah, kulihat ayahmu sedang menyusun sebalok demi balok dinding diruang bagian depan yang dulu merupakan "pawon" yang selalu dipakai ibumu untuk memasak. aku bertanya"sedang membangun apa pak??" ayahmu pun menjelaskan bahwa ia sedang membuat kamar utukmu dan suamimu. subhanallah, betapa sayangnya ayahmu sahabatku, ia rela membangunkan kamar untukmu padahal ia telah seharian bekerja menjadi buruh bangunan disebuah pabrik. kemudian kutanyakan rasa penasaranku padamu " kamu mau tinggal disini lagi? tidak dirumah suamimu?" kau menjawab " mama habis sakit aku mau jaga mama, simas juga mengizinkan jadi aku memutuskan untuk tinggal disini". ya .. mungkin itu lebih baik sahabatku, mungkin ibumu merindukanmu, sehingga ia sakit karena memikirkanmu, bahkan ketika kutahu bahwa kamu memutuskan cuti kuliah karena hamil. itu juga yang mungkin dipikirkan ibumu, kata-katanya yang dulu masih tersirat jelas dibenakku bahwa ia ingin agar kau lulus kuliah. hidup adalah sebuah pilihan, dan mungkin seharusnya kau memilih sesuatu tidak hanya berdasarkan rasa sesaat.
-------------------------------------------------------------------------------

pesta pernikahan sahabat kita akan digelar besok, kau memutuskan tidak ikut karena suamimu melarangmu berpergian terlalu jauh karena kondisi kehamilanmu, ya.. aku dan sahabat kita yang lainnya memaklumi itu, kami memenuhi undangan tanpa kehadiranmu diantara kami, kadang aku berpikir apakah karena kau telah berumahtangga lantas kita tidak dapat berkumpul bersama lagi. sekenario kehidupan terlanjur berjalan, dulu kita sahabat tapi perjalan hidup merentangkan kia kepada jalan yang berbeda, kau dengan jalanmu, aku dengan jalanku, dan mereka dengan jalan mereka, tapi, sekali lagi tapi haruskah sebuah ukhuwah terputus lantaran kita menjalani kehidupan kita masing-masing. sahabatku aku berharap persahabatan kita ini bukan hanya sesuatu yang sesaat tetapi sebagai sesuatu yang utuh yang akan menjadi sebuah kisah klasik bagi masa depan.
-------------------------------------------------------------------------------

hari ini 18 maret 2012, akhirnya kita berkumpul ditengah perutmu yang sudah besar tepatnya 9 bulan, kau datang aku merindukan senyummu, senyum yang dulu selalu menghiasi hari-harimu, tapi kurasa senyum itu kian memudar seiring berjalannya waktu, aku menyapamu dengan tubuh yang lelah usai mengelilingi istora senayan untuk sebuah buku berjudul "Huru'in" kita berkumpul dirumah sahabat kita eci padahal tadinya hedak berkumpul dirumahmu. tapi karena sesuatu hal kita berkumpul ditempat yang berbeda, ditempat itu kita meluapkan rasa rindu kita, kau bercerita bahwa kau telah keluar dari rumah orang tuamu dan mengontrak, aku terkejut seperti mendengar sengatan halilintar, kenapa kau keluar padahal ayahmu sudah membangunkan kamar untukmu, dan ibumu bisa menjagamu ketika nanti kau melahirkan, tetapi malah tinggal dikontrakan yang sepi, otakku penuh tanda tanya dan kau menjawab dengan lembut" mas anak terakhir, dia risih setiap kali serumah dengan adikku yang banyak, jadi ya kami ngontrak, tapi nggak jauh kok dari rumah mama." astaghfirullah hal'azimm.. pikirku melayang ya,, aku berpikir bahwa suamimu bukanlah seeorang yang baik, ketika ia memutuskan untuk menikahimu berarti ia mencintaimu, dan ketika itu pula seharusnya ia mencintai keluargamu juga adikmu, terutama orang tuamu, sahabatku bagaimana engkau bisa begitu sabar, tidakkah kau seharusnya memikirkan perasaan kedua orang tuamu?
do'aku bersamamu sahabatku semoga engkau bahagia...
fnc muslimah

Bocah itu menjadi pembicaraan dikampung Ketapang.

Sudah tiga hari ini ia mondar-mandir keliling kampung.

Ia menggoda anak-anak sebayanya, menggoda anak-anak remaja diatasnya, dan bahkan orang-orang tua.

Hal ini bagi orang kampung sungguh menyebalkan. Yah, bagaimana tidak menyebalkan, anak itu menggoda dengan berjalan kesana kemari sambil tangan kanannya memegang roti isi daging yang tampak coklat menyala.

Sementara tangan kirinya memegang es kelapa, lengkap dengan tetesan air dan butiran-butiran es yang melekat diplastik es tersebut,

Pemandanganvtersebut menjadi hal biasa bila orang-orang kampung melihatnya bukan pada bulan puasa! Tapi ini justru terjadi ditengah hari pada bulanpuasa! Bulan ketika banyak orang sedang menahan lapar dan haus.

Eskelapa dan roti isi daging tentu saja menggoda orang yang melihatnya.

Pemandangan itu semakin bertambah tidak biasa, karena kebetulan selama tiga hari semenjak bocah itu ada, matahari dikampung itu lebih terik dari biasanya.

Luqman mendapat laporan dari orang-orang kampung mengenai bocah itu.

Mereka tidak berani melarang bocah kecil itu menyodor-nyodorkan dan memperagakan bagaimana dengan nikmatnya ia mencicipi es kelapa dan roti isi daging tersebut. Pernah ada yang melarangnya, tapi orang itu kemudian dibuat mundur ketakutan sekaligus keheranan.

Setiap dilarang, bocah itu akan mendengus dan matanya akan memberikan kilatan yang menyeramkan.

Membuat mundur semua orang yang akan melarangnya. Luqman memutuskan akan menunggu kehadiran bocah itu.

Kata orang kampung, belakangan ini, setiap bakda zuhur, anak itu akan muncul secara misterius.

Bocah itu akan muncul dengan pakaian lusuh yang sama dengan hari-hari kemarin dan akan muncul pula dengan eskelapa dan roti isi daging yang sama juga!Tidak lama Luqman menunggu,bocah itu datang lagi.

Benar, ia menari-nari dengan menyeruput eskelapa itu.

Tingkah bocah itu jelas membuat orang lain menelan ludah, tanda ingin meminum es itu juga.

Luqman pun lalu menegurnya. Cuma,yaitu tadi,bukannya takut, bocah itu malah mendelik hebat dan melotot,seakan-akan matanya akan keluar."Bismillah..." ucap Luqman dengan kembali mencengkeram lengan bocah itu. Ia kuatkan mentalnya. Iaberpikir, kalau memang bocah itu bocah jadi-jadian, ia akan korek keterangan apa maksud semua ini.

Kalau memang bocah itu "bocah beneran"pun, ia juga akan cari keterangan, siapa dan dari mana sesungguhnya bocah itu. Mendengar ucapan bismillah itu, bocah tadi mendadak menuruti tarikan tangan Luqman.

Luqman pun menyentak tanggannya, menyeret dengan halus bocah itu, dan membawanya ke rumah.

Gerakan Luqman diikuti dengan tatapan penuh tanda tanya dari orang-orang yang melihatnya."Ada apa Tuan melarang saya meminum es kelapa dan menyantap roti isi daging ini? Bukankah ini kepunyaan saya?" tanya bocah itu sesampainya di rumahLuqman, seakan-akan tahu bahwa Luqman akan bertanya tentang kelakuannya. Matanya masih lekat menatap tajam pada Luqman."Maaf ya, itu karena kamu melakukannya dibulan puasa," jawab Luqman dengan halus,"apalagi kamu tahu, bukankah seharusnya kamu juga berpuasa? Kamu bukannya ikut menahan lapar dan haus, tapi malah menggoda orang dengan tingkahmu itu.."Sebenarnya Luqman masih akan mengeluarkan uneg-unegnya,mengomeli anak itu.

Tapi mendadak bocah itu berdiri sebelum Luqman selesai.

Ia menatap Luqman lebih tajam lagi."Itu kan yang kalian lakukan juga kepada kami semua!

Bukankah kalian yang lebih sering melakukan hal ini ketimbang saya..?!

Kalian selalu mempertontonkan kemewahan ketika kami hidup dibawah garis kemiskinan pada sebelas bulan diluar bulan puasa? Bukankah kalian yang lebih sering melupakan kami yang kelaparan, dengan menimbun harta sebanyak-banyaknya dan melupakan kami? Bukankah kalian juga yang selalu tertawa dan melupakan kami yang sedang menangis?

Bukankah kalian yang selalu berobat mahal bila sedikit saja sakit menyerang, sementara kalian mendiamkan kami yang mengeluh kesakitan hingga kematian menjemput ajal..?

Bukankah juga di bulanpuasa ini hanya pergeseran waktu saja bagi kalian untuk menahan lapar dan haus?

Ketika bedug maghrib bertalu, ketika azan maghrib terdengar, kalian kembali pada kerakusan kalian..!?"Bocah itu terus saja berbicara tanpa memberi kesempatan pada Luqman untuk menyela.Tiba-tiba suara bocah itu berubah.

Kalau tadinya ia berkata begitu tegas dan terdengar "sangat" menusuk, kini ia bersuara lirih, mengiba."Ketahuilah Tuan.., kami ini berpuasa tanpa ujung, kamis enantiasa berpuasa meski bukan waktunya bulan puasa, lantaran memang tak ada makanan yang bisa kami makan.

Sementara Tuan hanya berpuasa sepanjang siang saja.Dan ketahuilah juga, juatru Tuan dan orang-orangdi sekeliling Tuan lah yang menyakiti perasaan kami dengan berpakaian yang luar biasa mewahnya, lalu kalian sebut itu menyambut Ramadhan dan'Idul Fitri? Bukankah kalian juga yang selalu berlebihan dalam mempersiapkan makanan yang luar biasa bervariasi banyaknya, segala rupa ada, lantas kalian menyebutnya denga istilah menyambut Ramadhan dan'Idul Fithri? Tuan.., sebelas bulan kalian semua tertawa di saat kami menangis, bahkan pada bulan Ramadhan pun hanya ada kepedulian yang seadanya pula.

Tuan.., kalianlah yang melupakan kami, kalianlah yang menggoda kami, dua belas bulan tanpa terkecuali termasuk di bulan ramadhan ini. Apa yang telah saya lakukan adalah yang kalian lakukan juga terhadap orang-orang kecil seperti kami...!Tuan.., sadarkah Tuan akan ketidak abadian harta? Lalu kenapakah kalian masih saja mendekap harta secara berlebih? Tuan.., sadarkah apa yang terjadi bila Tuan dan orang-orang sekeliling Tuan tertawa sepanjang masa dan melupakan kami yang semestinya diingat? Bahkan, berlebihannya Tuan dan orang-orang disekeliling Tuan bukan hanya pada penggunaan harta, tapi juga pada dosa dan maksiat.. Tahukah Tuan akan adanya azab Tuhan yang akan menimpa? Tuan.., jangan merasa aman lantaran kaki masih menginjak bumi.Tuan..., jangan merasa perut kan tetap kenyang lantaran masih tersimpanpangan 'tuk setahun, jangan pernah merasa matahari tidak akan pernah menyatu dengan bumi kelak..."Wuahh..., entahlah apa yang ada di kepala dan hati Luqman. Kalimat demi kalimat meluncur deras dari mulut bocah kecil itu tanpa bisa dihentikan. Dan hebatnya, semua yang disampaikanbocah tersebut adalah benar adanya!Hal ini menambah keyakinan Luqman,bahwa bocah ini bukanlah bocah sembarangan.Setelah berkata pedas dan tajam seperti itu, bocah itu pergi begitu saja meninggalkan Luqman yang dibuatnya terbengong-bengong. Di kejauhan, Luqman melihat bocah itu menghilang bak ditelan bumi.

Begitu sadar, Luqman berlari mengejar keluar rumah hingga ke tepian jalan raya kampung Ketapang.

Ia edarkan pandangan ke seluruh sudut yang bisa dilihatnya, tapi ia tidak menemukan bocah itu.

Ditengah deru nafasnya yang memburu, ia tanya semua orang di ujung jalan, tapi semuanya menggeleng bingung. Bahkan,orang-orang yang menunggu penasaran didepan rumahnya pun mengaku tidak melihat bocah itu keluar dari rumah Luqman!Bocah itu benar-benar misterius! Dan sekarang ia malah menghilang!Luqman tidak mau main-main.

Segera ia putar langkah, balik ke rumah. Ia ambil sajadah, sujud dan bersyukur. Meski peristiwa tadi irrasional, tidak masuk akal, tapi ia mau meyakini bagian yang masuk akal saja.

Bahwa memang betul adanya apayang dikatakan bocah misterius tadi.

Bocah tadi memberikan pelajaran yang berharga, betapa kita sering melupakan orang yang seharusnya kita ingat.

Yaitu mereka yang tidak berpakaian, mereka yang kelaparan, dan mereka yang tidak memiliki penghidupan yang layak. Bocah tadi juga memberikan Luqman pelajaran bahwa seharusnya mereka yang sedang berada diatas, yang sedang mendapatkan karunia Allah, jangan sekali-kali menggoda orang kecil, orang bawah, dengan berjalan membusungkan dada dan mempertontonkan kemewahan yang berlebihan.

Marilah berpikir tentang dampak sosial yang akan terjadi bila kita terus menjejali tontonan kemewahan, sementara yang melihatnya sedang membungkuk menahanlapar.

Luqman berterima kasih kepada Allah yang telah memberikannya hikmah yang luar biasa. Luqman tidak mau menjadi bagian yang Allahsebut mati mata hatinya.

Sekarang yang ada dipikirannya sekarang, entahmau dipercaya orang atau tidak, ia akan mengabarkan kejadian yang dialaminya bersama bocah itu sekaligus menjelaskan hikmah kehadiran bocah tadi kepada semua orang yang dikenalnya, kepada sebanyak-banyaknya orang. Kejadian bersama bocah tadi begitu berharga bagi siapa saja yang menghendaki bercahayanya hati.

Pertemuan itu menjadi pertemuan yang terakhir.

Sejak itu Luqman tidak pernah lagi melihatnya, selama-lamanya.

Luqman rindu kalimat-kalimat pedas dan tudingan-tudingan yang memang betul adanya. Luqman rindu akan kehadiran anak itu agar ada seseorang yang berani menunjuk hidungnya ketika ia salah.



Copas from: Istiqamah Moiichan’notes

fnc muslimah
Pagi itu Rasululloh dengan suara terbata-bata berkutbah, " Wahai umat ku. kita semua dalam kekuasaan Allah dan cinta kasih_Nya, maka taat dan bertaqwala kepada_Nya. Ku wariskan dua perkara kepada kalian, Al Qur'an dan Sunnahku. Siapa yang mencintai Sunnahku, berarti mencintaiku dan kelak orang-orang yang mencintaiku akan masuk surga bersama-sama aku"
Kutbah singkat itu di akhiri dengan pandangan mata rasululloh yang tenang dan penuh minat menatap satu persatu sahabatnya. Abu bakar menatap mata itu dengan berkaca-kaca. Umar menahan nafas dan tangisnya. Usman menghela nafas panjang. Ali menundukkan kepala.
Isyarat telah datang, saatnya telah tiba, " Rasululloh akan meninggalkan kita semua" keluh hati sahabat. Manusia tercinta itu, hampi selesai tunaikan tugasnya. Tanda-tanda itu makin kuat. Ali dengan cekatan memeluk rasululloh yang lemah dan goyah ketika turun dari mimbar.
Matahari kian tinggi, tapi pintu rumah rasululloh masih tertutup. Di dalamnya rasul terbaring lemah dengan kening berkeringat membasahi pelepah kurma alas tidurnya. Tiba-tiba dari luar pintu terdengar salam, "bolehkah saya masuk?'

tanyanya.

Fatimah tak mengijinkan masuk. "Maafkan ayahku sedang demam."

Ia kembali menemani ayahnya yang ternyata sudah membuka mata dan bertanya, "siapakah itu wahai anakku" "Tak taulah ayahku, sepertinya baru kali ini aku melihatnya" tutur Fatimah lembut.

Rasul menatap putrinya dengan pandangan yang mengetarkan. Seolah-olah bagian demi bagian wajah putrinya hendak di kenangnya.
" Ketahuilah. Dialah yang menghapuskan kenikmatan sementara. Dialah yang memisahkan pertemuan di dunia. dialah malaikul maut" kata rasululloh. Fatimahpun menahan ledakan tangisnya.

Ketika malaikat maut datang mendekat, rasul menanyakan kenapa jibril tidak menyertainya. Kemudian di panggilah jibril yang sudah bersiap di atas langit dunia menyambut ruh kekasih Allah ini.

"Jibril, jelaskan apa hakku nanti di hadapan Allah" tanya rasul dengan suara yang teramat lemah.

"Pintu-pintu langit telah terbuka. para malaikat telah menanti ruhmu. Semua surga terbuka lebar menanti kedatanganmu," kata Jibril. Ternyata itu tidak membuat rasul lega. Matanya masih penuh gambaran kecemasan.

" Engkau tidak senang mendengar kabar ini?" tanya jibril.

" Kabarkan kepadaku bagaimana nasib umatku kelak?"

" Jangan khawatir ya rasul Allah, aku pernah mendengar Allah berfirman kepada ku, Ku haramkan surga bagi siapa saja, kecuali umat muhammad telah berada di dalamnya" kata jibril.
Detik-detik semakin dekat. Saatnya Izrail melakukan tugasnya. Perlahan ruh rasululloh di tarik. Nampak sekujur tubuh rasul bersimbah peluh, urat-urat lehernya menegang. "Jibril, betapa sakit sakaratul maut ini" rasululloh mengaduh lirih. Fatimah terpejam. Ali yang berada di sampingnya menunduk semakin dalam. Jibril memalingkan muka.

"Jijikkah kau melihatku, hingga kau palingkan wajahmu Jibril?" tanya rasululloh pada malaikat pengantar wahyu itu.

' Siapa yang sanggup melihat kekasih Allah di renggut ajal," kata Jibril. Kemudian terdengar rasul memekik karena sakit yang tak tertahankan. "Ya Allah, dasyat nian maut ini, timpahkan saja semua siksa maut ini kepadaku, jangan pada umatku".
Badan rasul mulai dingin, kaki dan dadanya sudah tak bergerak lagi. Bibirnya bergetar seakan hendak membisikkan sesuatu. Ali segera mendekatkan telinganya, " Uushikum bis shalati, wa maa malakat aymanukum. Peliharalah sholat dan peliharalah orang-orang lemah diantara kamu"

Di luar pintu tangispun mulai terdengar bersahutan. Sahabat saling berpelukan. Fatimah menutupkan tangan di wajahnya. Dan Ali kembali mendekatkan telinga di bibir rasul yang mulai kebiruan, " Ummatii..., ummatii...., ummatii...,"

Berakhirlah hidup manusia mulia yang memberi sinaran itu. Allahumma sholli 'ala Muhammad wa baarik wa salim 'alaihi."

Betapa cinta rasululloh kepada kita. Betapa sayangnya beliau kepada pengikutnya yang belum pernah dilihatnya sekalipun...



Wallahu a'lam

Source dari berbagai sumber
Label: 0 komentar |
fnc muslimah
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh


============================
Dikisahkan dari Imam Ali bin abi thalib berkata,: "Suatu hari, aku dan Fatimah melihat Nabi sedang menangis tersedu-sedu. Lalu kami bertanya: ”Ya Rasulullah, apa yang membuatmu menangis seperti ini” .
Rasulullah menjawab: ”Di malam Mi’raj,aku melihat sekelompok wanita dari umatku dalam keadaan tersiksa dengan siksaan yang pedih hingga membuatku menangis. Aku melihat perempuan dalam keadaan rambutnya tergantung dan otaknya mendidih. Aku melihat perempuan yang lidahnya terjulur dan disiram dengan air neraka yang panas. Dan sebagian lagi memakan dagingya sendiri, di bawah badan mereka ada api yang menyala, dan sebagian lagi kaki dan tangan dalam keadaan terikat,sedangkan ular dan kalajengking mengelilinginya. Dan wanita yang lainnya dalam keadaan tuli dan bisu dan dia ditaruh dalam peti yang penuh dengan api yang menyala. Otaknya keluar dari hidungnya dan badannya robek-robek sampai terpisah dari tulangnya. Dan berbagai siksaan-siksaan yang aku lihat di sana.”

Lalu Fatimah bertanya,”Ya Rasulullah, mengapa mereka di siksa oleh Allah SWT sedangkan mereka adalah wanita-wanita yang beriman?”.

Rasulullah menjawab: “Wahai Puteriku, wanita yang digantung rambutnya, adalah wanita yang tidak memakai Jilbab padahal kebenaran sudah disampaikan kepadanya, wanita yang lidahnya terjulur dan digunting dengan gunting raksasa adalah wanita yang menyakiti hati suaminya, wanita yang payudaranya di gantung adalah wanita yang tidak mau tidur dengan suaminya, wanita yang kakinya di gantung adalah wanita yang keluar dari rumah tanpa seizin suaminya, Wanita yang memakan dagingnya sendiri adalah wanita yang merias dirinya untuk orang lain ,wanita yang kakinya diikat dan di kelilingi ular dan kalajengking adalah wanita yang sholat dengan pakaian najis serta tidak mandi setelah haid atau bersenggama.

Wanita yang tuli dan bisu adalah wanita yang berbuat zina dan anak-anaknya di serahkan pada suaminya, wanita yang menggunting badannya sendiri adalah wanita yang membanggakan diri sendiri pada orang lain,wanita yang badannya dan mukanya terbakar dan dia memakan ususnya serta semua isi perutnya adalah wanita yang menyuruh orang lain berbuat zina, wanita yang kepalanya kepala babi dan badannya badan keledai adalah wanita yang suka berbohong dan mengadu domba, dan wanita2 telanjang yang bermuka anjing lalu api neraka dimasukkan dari duburnya dan keluar dari mulutnya adalah wanita yang suka bernyanyi ditempat-tempat maksiat ”.

Suatu hari Aisyah datang menghadap Nabi dan bertanya:”Ya rasulullah ,siapa yang paling berhak terhadap seorang perempuan?” Nabi menjawab:” Suaminya”. Aisyah bertanya: “siapa yang paling berhak terhadap seorang laki-laki” Nabi menjawab:”Ibunya”.

Dalam suatu riwayat Muadz bin Jabal datang dari syam lalu dia sujud dihadapan rasulullah. Rasulullah bertanya:”Apa yang sedang kamu lakukan”. Muadz menjawab:” Ini adalah adat buat kami, apabila seorang pemimpin datang, kami harus bersujud kepada pemimpin tersebut, dan akupun ingin bersujud padamu ya Rasulullah”.

Lalu Rasulullah bersabda:”Janganlah kalian bersujud terhadap sesama manusia. Dan seandainya sujud terhadap manusia itu di perbolehkan, maka aku akan memerintahkan perempuan untuk sujud pada suaminya. Dan aku bersumpah atas nama Allah tidak ada perempuan yang mengerjakan hak Allah kecuali dia mengerjakan hak-hak suaminya”.

Demikian pula Rasulullah Shalallahu’alaihi Wassallam pernah menangis ketika menyaksikan salah satunya cucunya yang nafasnya sudah mulai terputus-putus dan ketika putra beliau Ibrahim meninggal, air mata beliau menetes karena belas kasih beliau kepadanya. Beliau Shalallahu’alaihi Wassallam menangis ketika meninggalnya Ustman bin Madh’un, beliau menangis ketika terjadi gerhana matahari lantas beliau shalat gerhana dan beliau meenangis dalam shalatnya, kadang pula beliau menangis di saat menunaikan shalat malam.

Kerisauan Rasullah kepada kita ummatnya tidak terbatas ruang dan waktu, Beliau sangat mengkhawatirkan kita umatnya hingga dalam sholatnya pun kaki beliau bengkak hanya untuk mendoa’akan bagaimana seluruh manusia bisa selamat.



Barakallahufik..semoga bermanfaat

Wassalam

------------------------------

source:iftaistiany notes
fnc muslimah


Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh


====================================
Suatu ketika, hiduplah sebatang pohon apel besar dan anak lelaki yang senang bermain-main di bawah pohon apel itu setiap hari.

Ia senang memanjatnya hingga ke pucuk pohon, memakan buahnya, tidur-tiduran di keteduhan rindang daun-daunnya.

Anak lelaki itu sangat mencintai pohon apel itu.
Demikian pula pohon apel sangat mencintai anak kecil itu.
Waktu terus berlalu.

Anak lelaki itu kini telah tumbuh besar dan tidak lagi bermain-main dengan pohon apel itu setiap harinya.

Suatu hari ia mendatangi pohon apel.
Wajahnya tampak sedih.

"Ayo ke sini bermain-main lagi denganku," pinta pohon apel itu.

"Aku bukan anak kecil yang bermain-main dengan pohon lagi," jawab anak lelaki itu.

"Aku ingin sekali memiliki mainan, tapi aku tak punya uang untuk membelinya."
Pohon apel itu menyahut, "Duh, maaf aku pun tak punya uang... tetapi kau boleh mengambil semua buah apelku dan menjualnya. Kau bisa mendapatkan uang untuk membeli mainan kegemaranmu. "

Anak lelaki itu sangat senang. Ia lalu memetik semua buah apel yang ada di pohon dan pergi dengan penuh suka cita.

Namun, setelah itu anak lelaki tak pernah datang lagi. Pohon apel itu kembali sedih.

Suatu hari anak lelaki itu datang lagi.

Pohon apel sangat senang melihatnya datang.

"Ayo bermain-main denganku lagi," kata pohon apel.

"Aku tak punya waktu," jawab anak lelaki itu.

"Aku harus bekerja untuk keluargaku. Kami membutuhkan rumah untuk tempat tinggal. Maukah kau menolongku?"

"Duh, maaf aku pun tak memiliki rumah. Tapi kau boleh menebang semua dahan rantingku untuk membangun rumahmu," kata pohon apel.

Kemudian anak lelaki itu menebang semua dahan dan ranting pohon apel itu dan pergi dengan gembira.
Pohon apel itu juga merasa bahagia melihat anak lelaki itu senang, tapi anak lelaki itu tak pernah kembali lagi.

Pohon apel itu merasa kesepian dan sedih.
Pada suatu musim panas, anak lelaki itu datang lagi.

Pohon apel merasa sangat bersuka cita menyambutnya.
"Ayo bermain-main lagi deganku," kata pohon apel.

"Aku sedih," kata anak lelaki itu.

"Aku sudah tua dan ingin hidup tenang. Aku ingin pergi berlibur dan berlayar. Maukah kau memberi aku sebuah kapal untuk pesiar?"

"Duh, maaf aku tak punya kapal, tapi kau boleh memotong batang tubuhku dan menggunakannya untuk membuat kapal yang kau mau. Pergilah berlayar dan bersenang-senanglah ."

Kemudian, anak lelaki itu memotong batang pohon apel itu dan membuat kapal yang diidamkannya.

Ia lalu pergi berlayar dan tak pernah lagi datang menemui pohon apel itu
Akhirnya, anak lelaki itu datang lagi setelah bertahun-tahun kemudian.

"Maaf anakku," kata pohon apel itu. "Aku sudah tak memiliki buah apel lagi untukmu."

"Tak apa. Aku pun sudah tak memiliki gigi untuk mengigit buah apelmu," jawab anak lelaki itu.

"Aku juga tak memiliki batang dan dahan yang bisa kau panjat," kata pohon apel.

"Sekarang, aku sudah terlalu tua untuk itu," jawab anak lelaki itu.
"Aku benar-benar tak memiliki apa-apa lagi yang bisa aku berikan padamu. Yang tersisa hanyalah akar-akarku yang sudah tua dan sekarat ini," kata pohon apel itu sambil menitikkan air mata.

"Aku tak memerlukan apa-apa lagi sekarang," kata anak lelaki.

"Aku hanya membutuhkan tempat untuk beristirahat. Aku sangat lelah setelah sekian lama meninggalkanmu. "

"Oooh, bagus sekali. Tahukah kau, akar-akar pohon tua adalah tempat terbaik untuk berbaring dan beristirahat. Mari, marilah berbaring di pelukan akar-akarku dan beristirahatlah dengan tenang."

Anak lelaki itu berbaring di pelukan akar-akar pohon.

Pohon apel itu sangat gembira dan tersenyum sambil meneteskan air matanya.


Sumber : Dikigid



Sahabat Fillah apa yang dapat kita ambil dari cerita tersebut adalah ini adalah tentang cerita kita semua
Pohon apel itu adalah orang tua kita.

Ketika kita muda, kita senang bermain-main dengan ayah dan ibu kita.

Ketika kita tumbuh besar, kita meninggalkan mereka (seperti sekolah yang jauh, merantau, dsb), dan hanya datang ketika kita memerlukan sesuatu atau dalam kesulitan.

Tak peduli apa pun, orang tua kita akan selalu ada di sana untuk memberikan apa yang bisa mereka berikan untuk membuat kita bahagia.

Anda mungkin berpikir bahwa anak lelaki itu telah bertindak sangat kasar pada pohon itu,

tetapi terkadang tanpa kita sadari begitulah cara kita memperlakukan orang tua kita.

Astagfirullahaladzim T_T
Orang inilah yang tiap hari bekerja keras untuk kesejahteraan kita, anak-anaknya.
Orang inilah, rela melakukan apa saja asal perut kita kenyang dan pendidikan kita lancar.
Sekarang, lihatlah ayah dan ibu anda ketika sedang tidur, bagaimana jika saat kita jauh tidak dissampingnya. Kita tak bisa lagi melihatnya karena sudah tidur untuk selamanya.
Rasakanlah getaran cinta yang mengalir deras ketika mengingat

betapa banyaknya pengorbanan yang telah dilakukan orang-orang itu untuk kebahagiaan anda.

cintailah orang tua kita, dengan sebenar-benarnya cinta

Sampaikan pada orang tua kita sekarang, betapa kita mencintainya; dan berterima kasih atas seluruh hidup yang telah dan akan diberikannya pada kita.

Bayangkanlah apa yang akan terjadi jika esok hari mereka “orang-orang terkasih itu” tak lagi membuka matanya, selamanya .

Aduhai ayah, ibu… terima kasih engkaulah pelita dalam hatiku..

Ya Allah Ya Ghoffar

Tak kuasa lagi aku merangkai kata ini…

Dan hanya permohonan yang tersisa dari lubuk hatiku yang penuh noda dan dosa dengan rahmatMu yang meliputi seggala sesuatu kasihinah aku dan kedua orang tuaku…

Demi RahmatMu yang mendahului murkaMu, daku bermohon, ampunilah dosa kedua orang tuaku

Duhai Dzat yang selalu mendengarkan jeritan inilah daku yang merendahkan diri dihadapanMu. T_T

Aamiin Ya Robbal Alamiin

Barakallahu Fiikum, Semoga Bermanfaat,Jika dirasa Bermanfaat silahkan di Share..

kritik dan saran dipersilahkan

Salam dan sayang penuh cinta untuk saudaraku semua ^_^
fnc muslimah
Subuh masih jauh. Kokok ayam pun belum terdengar, namun Fikri sudah menajamkan matanya, di atas sajadah ia bersimpuh. Tangannya menengadah jauh ke langit, seperti meminta sesuatu yang sangat ia butuhkan. Pandangannya nanar oleh karena matanya berkaca-kaca. Mulutnya terus mengucap doa kepada Tuhannya. Berharap sebuah petunjuk dari istikharah yang senantiasa ia lakukan beberapa hari terakhir ini.

Ya Allah, sesungguhnya Engkau Mengetahui apa yang tidak kuketahui… sungguh hati ini telah pasrah pada ketentuan-Mu dan kuyakin apa yang terjadi padaku adalah atas kehendak-Mu. Atas apa yang saat ini kualami, tiada yang dapat kulakukan selain bertanya kepada-Mu bagaimana baiknya keputusan yang kuambil. Ya Allah, jika memang kami berjodoh maka segerakanlah kami. Jika bukan, maka selamatkanlah kami dari fitnah.

Usai mengucap doa, Fikri mengusap wajahnya dengan dua telapak tangannya. Hatinya tak dapat menentukan apakah ia menerima atau tidak permintaan seorang akhwat yang kini lembaran biodatanya masih tergeletak di meja samping tempat tidurnya. Ia masih mengingat betul wajah manis dalam foto yang disertakan dalam lembaran itu.

Sepekan lalu ia didatangi dua orang akhwat di teras masjid. Dengan begitu sopan, dua akhwat tadi menyampaikan misinya, yakni pesan dari temannya untuk minta dinikahi oleh Fikri. Lugas, namun suatu keanehan bagi lelaki yang baru menginjak usia 23 itu.

“Sahabat kami, sudah lama menyimpan niatan ini. Baru kali ini sempat tersampaikan, itu pun setelah mendapat banyak masukan dari orang-orang terdekatnya. Insya Allah, sahabat kami ini orangnya solehah. Biodata lengkapnya bisa dilihat di sini.” Ujar salah seorang dari akhwat itu seraya menyerahkan amplop coklat seperti amplop untuk melamar kerja.

“Jika ada yang belum jelas, silakan langsung hubungi beliau. Ada nomor kontaknya di situ.” Sambung yang satunya sambil menunjuk amplop tersebut.

Fikri tak dapat berkata-kata, berfikir pun tak mampu. Ini baru pertama kalinya ada gadis yang minta dinikahi. Terbayang kisah cinta Rasulullah dengan Ibunda Khadijah, yang diawali dengan permintaan Ibunda untuk dinikahi Rasulullah. Bagaimanapun, ini pengalaman yang membuat tulang lututnya serasa lepas. Ia begitu lemas…

Ketika dua akhwat itu pergi dengan salam yang tegas namun lembut, Fikri masih tak dapat memijak bumi. Ia berada di luar kesadarannya, dan ingin segera menyentuh air wudhu untuk menenangkan rasa bingungnya. Tangannya basah karena berkeringat dingin, sehingga sebagian amplop itu turut basah pula.

Sesampainya di asrama pesantren, barulah ia berani membuka amplop itu setelah selesai sholat Isya. Hal itu ia sesali karena akibatnya adalah ia tak dapat tidur, pikirannya jadi terbayang sosok manis dalam foto itu, ditambah informasi dalam biodata tersebut yang aduhai menunjukkan bahwa gadis yang minta dinikahi itu bukanlah akhwat sembarangan. Untuk menerimanya, Fikri malu, apakah ia pantas menjadi pendamping hidup akhwat itu? Namun untuk menolaknya pun, ia tak bisa tergesa-gesa.

Salah satu hal yang membuatnya ragu dan banyak menimbang adalah kondisi keluarganya di Semarang. Masih ada dua orang adiknya yang masih sekolah, sedangkan orangtuanya bukan termasuk keluarga berada dan mengharap-harap Fikri sebagai anak ketiganya itu sukses. Bisa kuliah sampai ke luar negeri, bisa bekerja enak, hidup mapan dan tidak kesusahan seperti orangtuanya. Terbukti doa mereka mampu membuat Fikri masih bisa belajar sampai S1 dengan bantuan beasiswa.

Hal lain yang juga amat berat baginya adalah, ia sedang mendaftar untuk mendapat beasiswa ke Madinah. Ia ingin bisa belajar agama di sana, agar suasananya bisa terasa dekat dengan Rasulullah. Tak terhitung banyaknya doa yang ia panjatkan untuk mendapat beasiswa itu.

Gundahnya terasa menggunung saat membaca pesan dalam lembar bioadata akhwat bernama Sabila itu. Ana tunggu keputusan Akhy paling lama dua pekan setelah Akhy menerima biodata ana. Jazakallahu khairan.

Sabila. Nama akhwat pemberani itu. Di kampus, termasuk mahasiswa yang aktif di kegiatan kemuslimahan, namun Fikri tak pernah melihatnya. Orangtuanya berada di Magelang dan memiliki sebuah pesantren yang cukup terkenal. Dia bungsu dari sepuluh bersaudara. Kuliah di Jogja mengambil jurusan kedokteran umum. Cita-citanya adalah membuat sebuah klinik gratis di desa terpencil entah di mana, atau pergi ke Palestina atau daerah konflik lainnya untuk menyumbangkan keahliannya dalam hal medis. Ia pun amat menyukai dunia jurnalistik. Satu hal lagi yang membuat Fikri semakin berdebar ketika membacanya, adalah Sabila sudah mengenal Fikri sejak pertama kali masuk kuliah. Bagaimana bisa?

Itu yang ingin Fikri ketahui. Maka dengan keberanian yang ia kumpulkan dari banyak doanya berhari-hari, ia mantapkan diri untuk bertanya melalui telepon.

“Ukhti….Sabila?”

“Na’am, siapa ini?”

“Ukhti, ini…Fikri…Hm…” tak dapat ia menyembunyikan getar-getar kegugupan dalam hatinya. Mendengar suara tegas Sabila justru membuat tangannya lemas seakan ponsel yang dipegangnya hendak terlepas.

“Oh, iya Akhi..ada apa?”

Deg. Ada apa katanya? Seakan tak ada sesuatu yang pernah terjadi pada mereka. Sempat pula timbul persangkaan, mungkin saja dua orang akhwat yang datang tempo hari itu hanya mengerjainya? Tapi akhwat seperti itu apakah begitu usilnya?

“Halo…?” suara imut namun tegas itu menyadarkan Fikri.

“Ermh…begini Ukhti…” Fikri hampir lupa pada apa yang akan ia katakan. Ini baru pertama kalinya ia berhubungan dengan akhwat untuk maksud yang sifatnya pribadi, yakni perjalanan menuju pernikahan.

“Biodata Ukhti….” Kalimatnya menggantung.

“Ya, ada yang ingin ditanyakan mengenai bioadata ana?” suara itu masih juga imut dan tegas, tapi cukup membuat Fikri lega. Ia menanyakannya, artinya memang dia sudah tahu tentang hal itu dan dua temannya waktu itu tidak sedang mengerjainya.

“Ada Ukhti. Ada. Apakah…Ukhti sendiri yang membuatnya?”

“Tentu Akhi. Ana sendiri yang menulisnya.”

Gugup lagi. “Anu…anu lho Mbak’e, eh Ukhti…duh piye tho iki?” diam sejenak. Dalam hati terus mengucap istighfar. “Afwan Mbak, apa Mbak Sabila serius? Masalahe kok Mbak milih kulo? Terus gimana caranya Anti bisa kenal saya?”

Di seberang telepon, sebenarnya Sabila tersenyum. Ia geli mendengar kata-kata Fikri yang bahasanya campur aduk. Kadang memanggil Mbak, Ukhti, Anti. Kadang pakai bahasa Indonesia yang baku, kadang justru pakai bahasa Jawa. Tampak benar kegugupan dalam nada bicaranya.

“Begini Akhi. Ana sering melihat Antum mengisi kajian di kampus. Baik kajian bahasa Arab, atau kajian keislaman lainnya. Menurut Ana, tak semua mahasiswa bisa begitu. Kemudian Ana mencari informasi tentang Antum, Insya Allah shohih, dari guru ngaji Antum. Dari beliau, Ana mengetahui kepribadian Antum, insya Allah sholih.”

“Maksud Mbak Ukhti…guru ngaji ana…Mas Bahri?”

“Beliau mahram ana. Saudara sepersusuan.”

Terlalu tak dapat mencerna dengan sempurna, Fikri langsung mematikan ponselnya tanpa mengucap salam. Ia amat gugup sehingga ia baru sadar ketika ia menempelkan lagi ponsel di telinganya lalu berbicara lagi.

“Mbak Ukhti….” Tak ada jawaban, Fikri malu sendiri karena ponselnya sudah tak lagi tersambung dengan Sabila. Ia cengengesan sendiri. Teringat sebuah pertanyaan yang harus ia temukan jawabnya. Ia kirim pertanyaan itu lewat pesan pendek. Ukhti serius dengan ana? Sedangkan ana bukan dari keluarga terpandang, ana hanya anak perantauan yang miskin bahkan sekolah pun dari beasiswa. Apa Ukhti siap menjalani hidup dengan getir?

Beberapa menit menanti jawaban, akhirnya ponselnya berbunyi. Sebuah pesan pendek tertera dari sebuah nomor baru. Rizki itu minallah Akhi. Bukan karena menikah atau tidak menikah dengan Akhi maka saya kaya atau miskin. Tapi Allah yang telah mengatur rizki kita masing-masing, insya Allah takkan tertukar.

Nyess…Lega hatinya, namun semakin membuatnya berat antara menerima atau menolaknya. Madinah telah lebih dulu memanggilnya.

***

Istikharah ke sekiam kalinya, nyaris membuat hatinya condong kepada Sabila. Ia sering melihatnya dalam mimpi, dalam balutan busana pengantin dengan senyum merekah. Untuk memantapkan hatinya, ia pun sudah berkonsultasi dengan Mas Bahri, sang guru spiritualnya yang secara tak langsung telah menjadi perantaranya.

“Sabila kalau sudah punya keinginan, akan sulit untuk mundur lagi. Sejak mendapat info tentang antum, Sa jadi termotivasi untuk menikah dengan antum. Makanya ana usulkan agar dia berusaha sendiri, yakni dengan meminta untuk dinikahi.”

“Lalu, dia langsung menerima usul itu?”

“Tidak. Dia juga perempuan biasa yang punya rasa malu. Tapi ana ceritakan juga bahwa antum itu orangnya susah kalau untuk memulai, sebab sudah banyak calon yang ditawarkan tapi tampaknya kurang ngena di hati antum. Gak ngefek. Makanya, Sabila harus mengambil inisiatif, memberikan sengatan listrik biar antum melek.”

Kebingungan Fikri hampir hilang, ia berniat untuk menerima tawaran pernikahan itu namun sebuah kabar gembira menghalanginya untuk mengungkapkan niatnya kepada Sabila. Ia resmi mendapat beasiswa ke Madinah. Impiannya sejak masih Aliyah.

Istikharah penentuan, yang mengantarnya pada pecahnya tangis di malam sunyi. Hatinya merasa condong pada Sabila, tapi Madinah jauh lebih menggigilkan hatinya. Pernikahan memang salah satu impiannya, tapi bisa mencium wangi tanah Daulah Islamiyah pertama lebih menarik minatnya. Sabila memang sholehah, tapi keinginan kuatnya untuk belajar di Madinah melebihi keinginannya untuk menggenapkan separuh diennya.

“Aku bingung Mas harus bagaimana…”

Mas Bahri menepuk bahu Fikri, “Sudah istikharah?”

“Tak terhitung Mas. Sebenarnya ana sudah memutuskan untuk mengambil beasiswa itu, tapi ana gak enak sama Sabila…”

Mas Bahri tersenyum, “Katakan saja, Sabila orang yang kuat.”

***

“Maaf…ana…sebenarnya…punya keinginan yang sama dengan Mbak Ukhti Sabila….tapi…ana mendapat beasiswa ke Madinah Mbak Ukhti Sabila…Afwan… Mungkin ana bukan jodoh anti… Ana akan mengenang perkenalan ini, dan sebenarnya ana ingin kita bisa menikah setelah ana selesai kuliah nanti. Tapi ana tahu itu gak mungkin, sebab Mbak Ukhti Sabila kan akhwat yang banyak dicari…jadi kalau Mbak Ukhti Sabila sudah ada yang melamar, baiknya diterima saja. Khawatir kalau menunggu ana, kelamaan…”

Sabila masih mendengar kegugupan Fikri dalam nada bicaranya, sama seperti biasa. Namun yang lebih ia dengar saat ini adalah justru degup jantungnya sendiri. Kerongkongannya mendadak kering, sulit baginya mengucapkan apapun.

“Mbak Ukhti Sabila….?”

“Berapa lama?”

“Nggak tahu Mbak, mungkin tiga tahun, empat tahun atau lebih, atau bahkan nggak pulang lagi karena ana pengen juga langsung mencari jalan menuju Palestina kalau bisa….”

“Sudahlah. Begini saja, antum silakan berangkat. Doa ana menyertai antum. Berat memang bagi ana, tapi ana sangat mendukung keputusan antum. Bila ana berada di posisi antum, ana juga akan mengambil beasiswa itu. Karena bagi ana, ilmu itu sangat penting Akhi… Maka, jangan risaukan ana, tenanglah. Ana juga gak akan menjanjikan apapun untuk setia atau tidak, karena ana gak tahu sampai di mana jatah hidup ana. Ana juga gak tahu siapa jodoh ana sebenarnya. Tapi satu hal yang perlu antum tahu, kalau sudah pulang ke Indonesia, harap hubungi ana ya? Itu saja yang ana minta. Bisa kan?”

Kini kerongkongan Fikri yang kering. Berat namun harus ia ucapkan sebuah kata janji, “Insya Allah Mbak Ukhti Sabila….”

“Kalau begitu, ma’akum najah! Assalamu’alaikum…”

“Wa’alaikum salam….”

Kembali lemas, Fikri hanya terdiam menatap lambaian dedaunan di balik jendela kamarnya. Aroma Madinah telah memanggil-manggilnya. Besok ia akan pulang ke Semarang untuk pamit pada keluarganya. Tak lama lagi, ia akan terbang meninggalkan Indonesia, kampung kelahirannya, juga meninggalkan jantung hatinya yang tak menjanjikan kesetiaan namun meminta satu kepastian bahwa Fikri akan menghubunginya sekembalinya dari Madinah.

Apakah itu kata lain dari: “cepatlah pulang dan segera cari aku, karena aku akan selalu menunggumu entah kapan kau datang….”

Fikri tak dapat memastikan benar atau tidaknya khayalannya itu. Ia tutup jendela ketika langit mulai jingga dan burung-burung terbang kembali ke sarang. Sebentar lagi Maghrib tiba!



3 April 2010

“Mencintaimu tanpa batas waktu….”



http://frequencia89.blogspot.com/2010/12/permintaan-jiwa.html

Label: 0 komentar |