fnc muslimah
Assalaamu'alaykum wr. wb.

Makin ke sini, kepedulian terhadap "kulit" lebih dipusingkan ketimbang isi. Terlebih buat para cewek. Pakaian kudu matching dari atas sampai bawah, model jilbab mesti ter-inn, muka wajib kinclong *eeeh yang cowok juga gak jauh beda deng. Tapi isinya? Wallahu a'lam bi showwab.
Padahal Islam sudah jelas-jelas menegaskan bahwa yang membedakan kita hanyalah taqwa, Orang berilmu pun derajatnya lebih tinggi dari yang enggak berilmu. Jadi... mau cantik gak cantik, kaya gak kaya, kurus gemuk, gak ada arti kalo gak bertaqwa en gak berilmu.
Para sahabat Rasul pun sudah membuktikan hukum ini. Yuk cekidot!

1. Bilal bin Rabah
Dari anak TK sampai kakek nenek, siapa sih yg gak kenal dengan sahabat yang satu ini? Padahal cuma budak, hitam legam pula. Tapi berkat amalan unggulan beliau: menjaga wudhu plus sholat sunnah dua rakaat setelahnya, rasul pernah bermimpi mendengar terompah doi di surga *padahal orangnya masih segar bugar di dunia.

“Tiada aku batal wudhu kecuali aku perbarui lagi. Dan tiada aku berwudhu aku melainkan shalat dua rakaat aku tunaikan.” (HR Abu Hurairah)
Hebatnya lagi, rasul memilih Bilal langsung sebagai muadzin pertama di dunia.

2. Abdullah bin Mas'ud
Sahabat yang satu ini, beuwh... selain Rasul sering meminta dibacakan Qur'an olehnya, juga merekomendasikan para sahabat untuk meniru bacaan Ibnu Mas'ud! Sampai pernah beliau ditertawai en dijadikan objek lelucon oleh para sahabat yang lain ketika kedua betisnya yang kecil tersingkap. Tau apa reaksi Rasulullah?

"Kenapa kalian tertawa? Kalian tahu bahwa kaki Abdullah bin Mas’ud kelak di akherat nanti timbangannya lebih berat daripada gunung Uhud.” (HR.Ahmad)
Ya Rabbanaa... betisnya lebih berat dari gunung uhud!

3. Ammar bin Yassir
Kupingnya putus ketika perang melawan orang-orang murtad di perang Yamamah. Tapi kegigihannya menegakkan Islam, membuat Abu Bakar ra mempercayai beliau en Abdullah bin Mas'ud untuk memimpin wilayah hedon Kuffah.

Fyi, walaupun pemimpin, beliau ini sering keluar masuk pasar menggendong sendiri belanjaannya tanpa pengawalan. Pernah seseorang mengejek kupingnya, "Wahai orang yang telinganya terpotong!" Murka? Gak! Malah dengan bangga beliau berujar, "Sesungguhnya telinga yang kau ejek ini adalah telinga terbaik yang aku punya".

Masyaa Allah! Jauuuh banget sama kita ya ? Punya fisik gak sempurna rasanya minder abisss, makanya wajib divermak. Kadang malah nyalah-nyalahin Allah segala.
Tapi, mereka kan cowok. Lah kita perempuan, meski cantik dooonk!
Iya,  Betul banget, emang perempuan wajib cantik, kok. Coba deh cek shiroh shohabiyah, di sana rata-rata tertulis mereka memiliki paras yang cantik. Tapi, bukan itu yang membuat mereka mulia di mata Allah. Ibunda Khadijah, Fathimah, Maryam, Asiyah mendapat jaminan masuk surga karena keimanan en ketaataan mereka kepada Allah. 

Yuk deh luruskan lagi mind set kita bahwa fisik yang senantiasa kita poles in gak bakal kekal. Kalo Dia menghendaki rusak, pasti bakal rusak. Tapi hati en akal yang senantiasa dipoles, insyaa Allah itu yang bakal kekal. Kalo gak dinilai di mata manusia. Insyaa Allah bernilai di mataNya. ^__^

Wassalaamu'alaykum wr. wb.


sumber:annida-online.com

Label: 0 komentar |
fnc muslimah
Untukmu yang namanya telah tercatat sebagai sandal kiri
Ini penawaran yang kurangkai untukmu
Sebuah surga yang berpijak dari kesederhanaan cinta
Bukan syair-syair pujian berselimut kefanaan
Bukan…
Bukan kesenangan manusia kebanyakan
Karena kau sebuah sandal yang lahir dari rasa yang kubangun
Karena aku bersyukur kau bukan sepatu kaca penuh gemerlap
Namun kau pelengkap segala asa
Segala daya
Segala cita

Dariku, Sandal Kanan

***

Kutatap lekat-lekat wallpaper bergambar sebuah sandal yang disertai rangkaian kata-kata puitis itu. Tertuju kepada siapakah surat mini itu? Apa untukku?

Dalam diam, aku tertegun sejenak. Ya, itu memang laptop kepunyaannya. Kepunyaan lelaki berwajah syahdu itu. Terakhir kali yang kulihat bukan gambar dan kata-kata itu yang menghiasi desktopnya. Apa karena aku akan memakai laptopnya maka ia mengganti wallpapernya? Apa ia berharap aku membacanya?

Sejumlah tanya yang menari-nari di kepalaku tak kubiarkan mengusik perhatianku terlalu lama. Aku mulai mengalihkan perhatian dengan berselancar di dunia maya. Membuka email, blog, juga facebook. Ah, statusnya muncul paling atas di berandaku. Bismillah… Memulai perjalanan pulang, kembali ke peraduan. Semoga selalu diiringi ridho-Nya, bunyi statusnya. Bersahaja. Selalu begitu.

Bukan kata-katanya yang bersahaja saja yang menarik perhatianku, tapi juga foto yang menghiasi foto profilnya. Foto sandal. Sebuah sandal sebelah kanan, tanpa pasangannya sang sandal sebelah kiri. Sesaat timbul dalam pikiranku untuk mengganti foto profilku menjadi foto sebuah sandal sebelah kiri. Namun, kutepis dengan cepat. Beragam hal berpasang-pangan diciptakan di dunia ini, banyak yang begitu menarik dan menawan. Jadi kenapa harus sandal menjadi pilihannya?

“Ne, aku cuma punya sebelah sayap kanan yang tak kan bisa membuatku terbang. Bagaimana pun, aku sudah menganggapmu sayap kiriku, sudah sejak lama,” kata Faris di suatu sore. Faris adalah temanku sejak kecil, tetanggaku.

“Terkadang kita bisa saja salah mengira, Ris. Lelaki yang baik sepertimu akan menemukan pasangan sayap yang lebih baik,” ucapku sambil berlalu, meninggalkan Faris yang membisu di halaman rumahku.

Faris sangat baik. Mempunyai pendidikan yang baik, pekerjaan yang baik, dari keluarga yang baik-baik. Terlebih lagi, ia punya pemahaman agama yang baik. Namun, namanya tak pernah muncul dalam jawaban-jawaban doaku. Tak pernah terlintas meski aku telah istiqarah berkali-kali. Meski ia begitu ideal untuk dijadikan pasangan hidup, tetapi tetap aku tak bisa memaksakan diri jika keyakinanku tak pernah muncul untuk menerimanya.

Maka, disinilah pilihanku berlabuh. Pada senyum lelaki bersahaja itu. Pada lelaki yang nyaris tak kukenal itu. Tiga bulan sudah aku berusaha menyelami hatinya lebih dalam. Banyak tanya yang ingin aku ajukan untuknya. Termasuk masalah sandal ini.

Masalah? Ya, masalah. Dulu, Faris dengan kesantunannya menyebutku sayap kirinya. Sepasang sayap lumayan indah untuk menjadi pengandaian. Tetapi tak cukup untuk meluluhkan hati seorang perempuan sepertiku. Dan kini harus kudapati lelaki yang menjadi pilihanku menyebutku sandal kirinya!

Aku tak marah, dan tak perlu marah. Hanya saja istilah sandal itu sangat mengganggu pikiranku. Aku berpikir, mungkin aku sebegitu buruknya, sehingga ia kesulitan untuk menemukan sesuatu yang lebih istimewa untuk menyebut dirinya dan diriku. Sebutan sepasang sandal yang menjadi pilihannya jelas mempunyai alasan tersendiri.

Aku mulai mencoba searching di internet, tentang ungkapan seorang pasangan kepada pasangannya. Hanya untuk mengobati tanda tanya dihatiku. Tetapi jelas-jelas jawaban yang muncul semakin mengusik hatiku, semakin membuatku menjadi tidak berarti apa-apa.

Kau adalah pasangan sayapku. Kau adalah tulang rusukku yang hilang. Kau adalah bidadari hatiku. Kau adalah sekuntum bunga di taman indah. Kau bagai rembulan bagiku. Kau adalah permaisuri dan aku rajanya. Kau adalah… Ah, semua terdengar begitu indah untuk diungkapkan.

Kau adalah sebuah sandal kiri dan aku sandal kanan. Kuketik sebaris kalimat itu. Search. Seperti yang kuduga, no results found. Tidak ditemukan. Tak ada seorang lelaki pun yang menyebut dirinya sandal kanan, dan menyebut pasangannya sandal kiri.

Aku mulai merasa sedikit panas. Lebih lama, kuamati lagi wallpaper yang mengusik perhatianku itu. Kubaca lagi baris-baris kata dalam surat mini tersebut. Mendalam. Kata-katanya sangat memukau, tentu saja kecuali sebutan sandal itu. Pikirku masih melayang-layang jauh memikirkan itu semua ketika kudengar suara langkah-langkah kaki di depan rumah.
Aku mencoba mengintip dari jendela. Kulihat seorang lelaki melangkah mendekati pintu rumah. Dia sudah sampai rupanya. Laki-laki itu, lelaki yang melamarku tiga bulan yang lalu. Anak dari teman ibuku. Lelaki bersahaja itu tak begitu kukenal, tapi dengan mantap ia melamarku dan aku dengan mantap pula menerimanya. Tanpa pikir panjang, seolah batin kami telah terikat begitu lama.

Aku membukakan pintu untuknya, menyambutnya dengan wajah yang berusaha kubuat ceria, menutupi pertanyaan-pertanyaan di kepalaku yang terlontar sedari tadi untuknya. Ia datang dengan senyum lebarnya, dengan salam yang seketika menyejukkan rumahku yang semula terasa panas. Kujawab salam itu dan kucium tangannya.

Tanpa kata-kata aku mengikutinya ke kamar. Ia langsung bersiap-siap hendak mandi rupanya. Diraihnya handuk sambil memandangiku cukup lama. Aku menjadi salah tingkah dibuatnya.

“Apa ada yang ingin kamu tanyakan, Ne?” tanyanya lembut. Hebat. Ia bisa menebak isi pikiranku walau hanya dengan menatap wajahku.

“Kenapa tak menanyakan kabarku?” tanyaku sedikit merajuk, berbalik menanyainya. Satu minggu ia pergi meninggalkanku keluar kota karena urusan pekerjaannya, tetapi tak terucap sepatah katapun darinya menanyakan keadaaanku.

“Aku sudah tau bagaimana keadaanmu hanya dengan melihatmu,” jawabnya singkat. Aku sedikit tersipu dibuatnya.

“Apa benar itu yang ingin kamu tanyakan?”

“Hmm, sebenarnya…sebenarnya, kanapa menyebutku sebagai sebuah sandal? Kenapa bukan sepatu kaca?” Aku bertanya sambil melirik pada laptopnya, membuatnya juga melirik ke arah yang sama. Kurasa, akhirnya ia menyadari kemana arah pembicaraanku.

“Dengar, Ne. Sudah kutuliskan, bukan? Aku bersyukur kamu bukan sebuah sepatu kaca. Karena jika kamu sepatu kaca, maka, jangankan untuk menjadi pendamping hidupmu, memimpikan bisa berada di dekatmu pun aku tak bisa. Karena aku hanya sebuah sandal sebelah kanan, tak kan pernah cocok bila dipasangkan dengan sebuah sepatu kaca sebelah kiri.” Penjelasannya yang cukup panjang semakin membuatku tersipu.

“Kenapa tidak menggunakan istilah yang lebih istimewa?” Meski telah tertunduk malu, aku masih belum puas bertanya.

“Kebanyakan orang menanggalkan sepatunya dan menggunakan sandal melangkah ke rumah Allah, Ne. Itu hanya untuk memotivasi diri kita, bahwa seburuk-buruknya kita memiliki keistimewaan, bila kita dapat memaknainya dari sudut pandang yang berbeda. Kamu mau selalu menemani orang yang buruk sepertiku ini kan, Ne?” Aku mengangguk cepat dengan wajah yang semakin merona, tersipu malu.

Sebelum ia berlalu ke kamar mandi, ia tersenyum begitu lebar kepadaku sambi mengusap-usap kepalaku. Persis seperti ketika aku kecil dulu, pengurus masjid mengusap-usap kepalaku dan anak-anak lain setelah menyerahkan santunan anak yatim dari jamaah masjid kepada kami. Dan usapan itu selalu membuatku bahagia. Seperti sekarang, membuatku tersenyum lebih lebar dan lebar.

Mungkin aku saja yang terlalu sulit memahami. Banyak orang berharap mendapat sebutan atau gelar yang begitu meninggikannya, tetapi tak menyadari bahwa sejatinya gelar tidak mempengaruhi kualitas diri. Nilai seseorang sesungguhnya, dilihat bagaimana dirinya bersikap, sejauh apa ia mendalami makna hidup dan kehidupan ini sebenarnya. Dan dia, lelaki yang menjadi imamku itu mengajarkanku tentang hal ini lewat pilihan kata sederhana. Sesederha cintanya yang berujung surga.

Sebelum ia selesai mandi, aku telah selesai mengetikkan untaian kata-kata untuk membalas surat mininya. Tak ketinggalan disertai gambar sebuah sandal. Kujadikan wallpaper laptopnya, dan berharap ia suka membacanya nanti.

***
Untukmu sandal kanan yang bersahaja
Kuterima penawaranmu dengan senyum cinta beriringan doa
Kesederhanaan cintamu menyadarkanku,
bahwa inilah arti hidup yang dianugerahkanNya
Apalah artinya sebuah sepatu kaca
Bila langkah-langkah tulus tak kunjung didapatinya
Namun, sosok sepertimu yang orang anggap biasa
Menempati tempat yang luar biasa dalam ruang rinduku
Dalam syukur, aku bahagia menjadi pelengkap hidupmu
Maka, bimbinglah aku ke jalan itu
Ke tempat segala asa, daya dan cita bertahta

Dariku, Sandal Kiri

***
Padang, 2013


sumber: annida-online.com
Label: 0 komentar |