fnc muslimah
Mbok Ratmi terlihat lunglai di sisi makam yang baru usai dirapikan. Mendiang Rini adalah bungsu yang mewarisi sifat-sifat Mbok Ratmi; pendiam, tak banyak tingkah dan begitu polos. Sementara Rita mendekapnya dari samping dan sesekali masih terguncang isak. Si sulung yang perangainya bertolak belakang dengan adiknya. Banyak bicara dan begitu keras. Sayangnya mereka sama-sama tak pernah mau mempercayaiku. Andai saja mereka mau percaya saat itu…

Aku rasa Mas Ovi tak benar-benar mencintaimu, Ta.”

Heh! Kamu itu cuma debu di sini. Cuma nempel. Jangan urusi yang bukan urusanmu. Lalu apa tadi? Oo, rupanya diam-diam kau cemburu padaku ya?!”

Terseok kuseret langkah. Saat sedih menyelinap seperti ini, aku jadi teringat Ibu. Terutama tatap matanya saat polisi menyeretnya keluar dari ruang sidang dengan status terhukum. Mata itu seperti menyimpan banyak luka yang ingin disimpannya sendiri tanpa ingin berbagi dengan siapapun. Begitulah ibuku. Aku baru sadar bahwa hatinya telah banyak luka saat aku lima belas, usia di mana aku mulai belajar tentang pahit getir hidup.

“Kenapa Ibu tak ikut Romo saja, pulang ke rumahnya?” saat itu usiaku sepuluh, lelaki itu sudah jarang menampakkan muka.

“Apa ibumu ini tak cukup buatmu, Ras?” jawab Ibu.

Kenyataan bahwa pernikahan Ibu tak beroleh restu dari keluarga besar Romo kudapat dari Mbok Ratmi, perempuan paruh baya yang setia melayani Ibu sejak awal pernikahan hingga sekarang. Kata Mbok Ratmi, Romo seorang darah biru, garis keturunan ningrat. Sedang Ibu? Ketakjelasan latar belakang Ibu sepertinya juga menyumbang kebencian keluarga Romo terhadap kami.

Dengan bantuan Mbok Ratmi aku pernah sekali berkunjung ke rumah Romo. Tapi mereka menolakku. Mereka bilang Romo tak pernah punya anak bernama Larasati. Anak Romo hanya satu, Dewi Puspa Arum, yang baru empat tahun. Bahkan hingga kedatanganku yang kedua. Itu luka teramat nganga dalam hatiku. Dan luka itu semakin nganga saat kepulanganku bersambut murka Ibu.

“Apa ibumu ini tak cukup buatmu, Ras?! Apa kau masih kekurangan kasih sayang?!”

Akhirnya kuterima luka itu dan menyimpannya dalam sunyi. Kalau Ibu bisa berbagi luka dengan sunyi, kenapa aku tak?

Entah bagaimana cara Ibu mengubah lukanya itu menjadi kekuatan. Saat jatah bulanan yang masih diberikan Romo tak lagi mencukupi biaya pendidikanku di sebuah sekolah kejuruan, akhirnya Ibu memutuskan mencari uang sendiri. Pertemuan dengan seorang teman masa SMP akhirnya membantu Ibu menjadi seorang pengecer kain batik.

“Juragan batik, Bu?”

“Dulu Ibu pernah menjadi karyawan orang tuanya selama satu tahun.,” wajah Ibu sumringah saat cerita. Sejak kehadiran Pak Hendra, aku memang tak pernah lagi melihat wajah sendu Ibu.

Tapi itu tak lama. Begitu Romo memergoki kehadiran Pak Hendra, badai malah semakin menjadi-jadi…

“Aku selingkuh?! Mas lah yang sudah selingkuh! Apa Mas pikir jatah yang Mas berikan selama ini bisa membuatku menumpuk perhiasan?! Apa Mas juga memikirkan pendidikan Laras?! Dia juga butuh sekolah, Mas! Mas cuma memikirkan istri muda Mas!”

“Baik, besok akan kutambah jatahmu dua kali lipat. Akan kutanggung juga semua biaya sekolah Laras. Aku ingin lihat apa kau bisa menjauhi lelaki itu!”

“Bukankah seharusnya sejak dulu Mas melakukan itu?! Bukankah itu janji Mas sewaktu menjeratku dulu?! Mas cuma seorang pencemburu!”

Plakk! Perang mulut itu berakhir dengan kemenangan Romo.

Tapi tidak. Ternyata Romo juga seorang yang kalah. Lelaki itu pernah sekali menangis di hadapanku.

“Maafkan Romo, Ras. Sebenarnya Romo tak menginginkan semuanya jadi seperti ini. Romo tak bisa melawan keinginan keluarga Romo sendiri. Aku harap Laras bisa mengerti keadaan Romo.”

Yah, aku mulai mengerti keadaan Romo. Beliau adalah pengecut yang takut kehilangan status ningratnya!

* * *

Sesampainya di rumah Mbok Ratmi segera kuhempaskan tubuh penatku ke pembaringan. Seberapapun usaha kutidurkan pikiran, selalu saja ada yang mengganjal dalam kepala. Setelah tragedi dua tahun silam itu Mbok Ratmi memboyongku ke rumahnya di kampung.

Rumah tua di Laweyan diambil penuh oleh keluarga Romo tanpa menyisakan secuil warisan untukku. Satu-satunya hal yang tersisa dan telah menjadi mimpi buruk abadiku adalah perihal kebohongan itu. Tatap mata Ibu saat mengucap kebohongan dengan maksud membelaku di hadapan pengadilan. Selalu membuatku tersiksa dan membuatku ingin mengatakan kebenaran dalam keadaan apapun. Andai saja dulu aku sanggup mencegah sandiwara itu, pasti beliau takkan menemui ajal terdera duka dalam tempat busuk itu.

Tapi kebenaran ternyata kadang juga berbuah dilema. Sejak awal-awal mengenal Ovi, sebenarnya aku sudah merasa aroma itu. Pemuda itu selalu mengaku di muka banyak orang bahwa ia memacari Rita, tapi ia juga sering terlihat mendekati Rini secara diam-diam.

Aku adalah gadis yang jarang berinteraksi dengan lelaki. Kaki kiriku yang tak bisa mengimbangi kaki kanan seolah menjadi kutukan sejak lahir. Tapi aku bukannya tak bisa membedakan gelagat kumbang jalang.

“Biarkan aku yang menyapu, Ras,” tiba-tiba Rita menyita pekerjaanku di sore kelabu itu. Sungguh tak biasanya.

Sejak awal kedatangan di rumah ini, aku tahu ada virus kebencian yang meracuni anak-anak Mbok Ratmi. Saat Mbok Ratmi ada, mereka diam. Begitu Mbok Ratmi tak ada, isi hatinya benar-benar nyata.

Sapu yang bersih! Jangan mentang-mentang kau anak bekas majikan Emak, jangan mentang-mentang kau cacat, lantas kami harus memanjakanmu seperti anak raja. Kau sudah tak punya apa-apa lagi sekarang. Kau bukan siapa-siapa lagi, kau harus sadar itu!”

“Tidak, tidak, biarkan kulakukan kewajibanku seperti biasanya, Ta.”

“Ini bukan karena kau membenciku kan?”

Kami bertemu pandang. Tak kulihat lagi api. Hanya ada bening dan rona kesedihan.

“Ras, kau jangan mengungkit itu lagi, sungguh. Aku benar-benar ingin kau tahu, aku masih punya banyak kebaikan. Kau ingat baju-baju itu? Meski baju bekas, bukan kebaikan yang sempurna, tapi mengenai kejadian itu… aku sungguh tidak sengaja, Ras…” air matanya meleleh. Tatap matanya mengingatkanku pada tatap mata Ibu. Begitu dalam, seolah ingin menyentuh yang paling dalam relungku.

“… Kau benar, Ras. Si bangsat Ovi itu memang seperti apa katamu. Aku menyesal, Ras…. Aku mohon satu hal padamu, kau harus benar-benar adil. Penjahat sesungguhnya adalah si Ovi …”

Apakah itu sebuah usaha untuk memengaruhiku? Yah, mungkin ia sudah bisa menduga tabiatku. Aku, orang yang tak bisa bohong.

Lalu Mbok Ratmi pun datang kepadaku.

“Non harus paham kenapa dulu Bu Reza rela berkorban demi Non Laras. Semua ibu pasti rela melakukan itu. Simbok juga begitu, Non. Sekarang Rita adalah satu-satunya darah daging Simbok …,” menunduk. Bahunya berguncang.

Ah, lagi-lagi penyesalan. Kenapa saat itu Mbok Ratmi tak mau memercayaiku? Sebagai ibu harusnya ia bisa merasakan aura kejahatan dari mata pemuda itu. Kejam sekali rasanya jika hati ini mengatakan ada sakit hati yang terbalas dengan tregedi itu. Padahal penyesalan juga membukit di dadaku. Beliau harusnya sadar, dia sudah kuanggap sebagai pengganti ibu kandungku.

* * *

Hari pertama persidangan. Ovi berjalan lesu ke tempatnya sebagai terdakwa. Bahunya berbalut perban. Berkali ia menoleh ke arahku seolah ingin mengatakan, “Kini nasibku berada di tanganmu.” Keluarga besarnya duduk bergerombol di sisi kiri ruang sidang.

Aku seperti melihat keluarga besar Romo di situ. Wajah-wajah congkak dan penuh aura kebencian. Ibu duduk di kursi terdakwa dengan banyak menunduk. Aku duduk sebagai saksi dengan beban kecamuk perasaan.

Pak Hendra pun sama. Duda beranak satu itu kehilangan rona ceria. Ada sedikit tenteram saat kulihat dia melirik Ibu dengan raut khawatir. Terus terang, dalam hati kecilku aku lebih memilih dia daripada Romo.

Romo terbakar cemburu. Pertengkaran hebat itu terjadi saat Romo menemukan mereka bercakap akrab di ruang tamu. Ternyata Romo memang sudah berencana. Romo berhasil melukai lengan Pak Hendra dengan timah panas. Ibu mencoba mencegah. Pergumulan terjadi. Pistol dan tubuh Ibu terlempar. Tapi Romo belum puas dan lalu mendekati Ibu, menamparnya, menamparnya. Kalimat-kalimat kasar berhamburan. Beruntung Pak Hendra berhasil mendaratkan pukulan ke pipi Romo. Pergumulan dua lelaki itu terjadi. Saat itulah rasa muakku memuncak. Aku keluar dari tempat persembunyian. Kuhampiri pistol itu.

Kalau saja saat itu Pak Hakim menanyakan apakah aku pernah membenci ayahku? pasti kasusnya akan lain. Saat perkelahian itulah kebencianku terhadap Romo memuncak. Sempat terbetik dalam ruang gelap hatiku, Romo tega menduakan Ibu mungkin karena takdirku yang lahir cacat. Dia bisa membuat sarang baru di lain tempat, kenapa dia marah saat Ibu coba merajut kebahagiannya sendiri?

Ternyata begitu mudahnya yang bernama hukum dikelabui. Ibu telah akui perbuatan yang tak pernah dilakoni. Aku histeris. Tapi Ibu malah meneriakiku sebagai pembohong dan terus mengatakan bahwa dialah pelakunya. Saat Ibu memegang pistol itu, ternyata adalah siasatnya untuk menyelamatkanku. Sidik jarinya telah menempel di benda laknat itu. Dan ternyata Pak Hendra juga bersekongkol dengan Ibu. Aku tak paham dengan cinta lelaki itu. Jika sorot matanya itu benar cinta, bagaimana bisa ia tega menjerumuskan Ibu ke dalam jurang kegelapan?

Ruang sidang diam saat mendengar kesaksian Rita. Dengan tenang ia bercerita bahwa Ovi telah salah tusuk saat perkelahian. Ovi histeris mendengarnya. Ia berteriak-teriak seperti hewan disembelih. Jika kesaksian Rita menang, itu memang kematiannya. Ia akan dicap sebagai pembunuh seumur hidup. Kalau bukan karena pengacaranya yang sangat tenang, mungkin ia akan terus menangis seperti anak kecil dituduh mencuri.

“Di pisau itu ada tiga sidik jari berbeda. Jadi bisa saja klien saya tak bersalah, Yang Mulia. Saya harap Yang Mulia sedia mendengar dan mencatat semua kesaksian dengan cermat. Karena seperti yang sudah diakui klien saya tadi, dia tidak menusuk korban. Tapi klien sayalah yang justru hampir menjadi korban.”

Rita bangkit dengan wajah merah padam, “Bagaimana bisa Anda bela orang yang jelas-jelas hendak memperkosa dan telah mencekoki adik saya dengan pil setan?! Orang macam apa Anda ini?!”

Begitu ribut. Palu Pak Hakim yang diketokkan berkali-kali hampir tak digubris. Setelah Rita berhasil dipaksa duduk, Hakim memanggil Mbok Ratmi.

Alangkah tercengang ruang sidang saat Mbok Ratmi akui kesalahannya sendiri. Bagaimana bisa sidik jarinya ada di pisau itu karena memang dialah yang telah salah menusuk Rini.

Saat itu Rini di bawah pengaruh pil setan pemberian Ovi. Rita memergoki binatang jalang itu sudah setengah telanjang. Perkelahian yang tak seimbang terjadi. Saat binatang jalang itu hendak kabur setelah menyudahi perlawanan Rita, saat itulah Mbok Ratmi datang dengan sebilah pisau dapur. Mbok Ratmi hampir berhasil menghabisi binatang jalang itu dengan sebuah tusukan di bahu. Tapi sebuah kesalahan tiba-tiba membuat pisau itu membelok menusuk Rini yang sempoyongan mencoba bangkit.

Hatiku mencelos saat Ovi diam saja mendengar kesaksian itu. Rupanya dia setuju atas pengakuan yang jelas telah meringankan dirinya. Kini hanya kesaksiankulah yang akan dijadikan pertimbangan akhir keputusan sidang.

Aku mulai merasakan benci dan kasihan saling bergulat saat Jaksa menatapku tajam dengan sebuah pertanyaan, “Nona Larasati, apa benar Anda melihat Ibu Ratmi telah salah tusuk?”

Rita menatapku penuh harap. Ada kaca-kaca di kedua matanya. Tiba-tiba aku sadar, permusuhan yang selama ini ia kobarkan terhadapku tak lebih dari rasa cemburu karena Mbok Ratmi masih memperlakukanku sebagai majikan.

Tapi rasa iba ini kemudian layu saat kutemukan wajah Mbok Ratmi, perempuan yang turut mengasuh dan membesarkan hatiku. Tega sekali Rita berbuat itu. Menjerumuskan dan mengorbankan ibu kandungnya sendiri!

“Saudari Laras, apa benar Anda melihat Ibu Ratmi telah salah tusuk?” tanya itu menarik kembara ingatanku.

Aku menggeleng lemah. Menunduk, tanpa berani melirik Mbok Ratmi.

“Maksud Anda apa, Saudari Laras?” Jaksa cerewet itu mendekat. Membuatku terpaksa mengangkat wajah lagi. Kulihat Mbok Ratmi menatap cemas. Lalu Rita, wajahnya sangat pias.

“Ritalah yang telah menusuknya, Pak. Mbok Ratmi datang terlambat saat terjadi hal itu.”

Rita berteriak menyumpah-nyumpahi aku. Seperti gemuruh mendung. Ruang sidang riuh. Lalu kuteruskan ceritaku.

“Aku membuatkan teh untuk Rita dan Ovi yang berbincang di ruang tamu. Mbok Ratmi ke pasar. Tak lama kemudian aku mendengar Rita memanggil Rini, Rita keluar entah ada perlu apa. Aku memang tak tahu apa yang sebenarnya terjadi karena setelah menghidangkan teh aku lalu rebahan ke kamarku. Sekitar satu setengah jam kemudian kudengar keributan itu. Aku melihat ketika Rita berniat menusuk Ovi. Tapi seperti yang telah diceritakan tadi, pisau itu malah mengenai Rini. Rita memang berhasil melukai Ovi, tapi Ovi berhasil menendang Rita hingga ia terbentur tembok. Ovi jatuh pingsan di depan kamar saat berniat keluar. Saat itulah Mbok Ratmi pulang.”

Rita pingsan. Mbok Ratmi masih juga menatapku. Tatap matanya mengingatkanku pada tatap mata Ibu saat mendengar kesaksianku.

* * *

“Makanlah, Mbok, nanti Mbok Ratmi bisa sakit,” coba kumasukkan sesuap nasi ke mulutnya. Tapi perempuan uban itu masih saja mematung. Hampir seharian beliau seperti itu. Diam. Terkatup. Tanpa sudi sedikitpun menolehku.

Mataku menghangat. Kuraih jemarinya yang dingin, “Maafkan Laras, Mbok…”

Kucium jemari itu selayak mencium jemari Ibu. Sungguh, dalam hatiku yang terdalam aku hanya tak ingin beliau menanggung yang bukan dosanya. Aku tak ingin kehilangan ibu untuk kedua kalinya. Kuberanikan lagi masuk ke dalam kelam mata tua itu. Allah... ke manakah cahaya itu?******

Kalinyamatan – Jepara 2012.annida online
Label: 0 komentar |
fnc muslimah
* Kisah obrolan antara orang gila yang alim dan Abid (ahli ibadah) yang shalih.

Di suatu negeri, hiduplah seorang abid yang selalu bermunajat kepada Allah Ta’ala di setiap hari-harinya. Apabila dia ingat atas dosa-dosanya yang telah lalu, tak jarang dia menangis tersedu-sedu sehingga air matanya membasahi hampir sebagian baju yang dikenakannya. Maklum saja, abid tersebut dulunya adalah seorang yang pernah hidup di lembah hitam yang sudah barang tentu, beraneka macam bentuk kemaksiatan sudah pernah dicicipinya.

Suatu hari, ketika abid tersebut sedang asyik dalam munajatnya dan menangis tersedu-sedu sehingga air matanya membasahi kedua pahanya, lewatlah orang gila melintasi tempat di dekat ahli ibadah tersebut bermunajat.
Dalam munajatnya, abid tersebut berkata:

“Wahai Tuhanku…janganlah masukkan aku ke neraka”.

“Belas kasihanilah aku…bersikap lembutlah kepadaku wahai Tuhanku”.

“Wahai Dzat yang Maha Rahman dan Rahim…jangan siksa aku dengan neraka-Mu”.

“Aku ini sangat lemah wahai Tuhanku…aku pasti tidak akan kuat bertempat di neraka-Mu…oleh karena itu, kasihanilah aku wahai Tuhanku”.

“Wahai Tuhanku…Kulitku ini sangat lembut, pasti tidak akan kuat menahan api neraka-Mu. Oleh karena itu wahai Tuhanku…Kasihanilah aku”.

“Wahai Tuhanku…tulangku sangat rapuh, tidak akan kuat menahan siksaan neraka-Mu, oleh karena itu wahai Tuhanku…Kasihanilah aku”.

Mendengar ucapan abid yang sedang bermunajat tersebut, orang gila yang sedang melintas tadi tiba-tiba tertawa terbahak-bahak dengan sangat keras sekali.

Ha ha ha ha ha ha…!!

Karena merasa dilecehkan, sambil melotot abid tadi berkata:

“Wahai orang gila…apa yang sedang kamu tertawakan??!!”.

Dengan terkekeh orang gila tadi menjawab:

“Ucapan dalam munajatmu tadi sungguh membuatku tergelitik untuk tertawa”.

Abid menimpali:

“Ucapanku yang mana yang membuatmu tertawa wahai orang gila??!”.

Orang gila tadi menjawab:

“Engkau menangis karena takut dengan neraka…itulah yang membuatku tertawa terbahak-bahak!!”

Abid berkata:

“Apakah engkau tidak takut dengan neraka wahai orang gila??!”.

Sambil kembali tertawa terbahak-bahak orang gila tersebut menjawab:

“Ha ha ha ha ha….Sedikit pun aku tidak takut dengan yang namanya neraka”.

Abid berkata:

“oowwhh….benar, engkau memang benar-benar gila!!”.

Sambil sedikit menahan tawa, orang gila tadi menjawab:

“Kenapa engkau takut dengan neraka wahai abid, sedangkan engkau memiiliki Tuhan Yang Maha Rahman dan Rahim??!, yang rahmat-Nya lebih luas dari apapun juga!!”.

Dengan agak takjub dengan ucapan orang gila tadi, abid tersebut menjawab:

“Sesungguhnya aku memiliki dosa yang apabila Allah Ta’ala meminta pertanggung jawaban kepadaku dengan keadilan-Nya, niscaya Allah akan memasukkan aku ke neraka”.

“Oleh karena itu aku menangis wahai orang gila…itu semua aku lakukan agar Allah Ta’ala berbelas kasihan kepadaku, mengampuni dosa-dosaku, tidak meminta pertanggung jawaban kepadaku dengan keadilan-Nya, tetapi dengan keutamaan dan kelembutan-Nya, sehingga Dia tidak memasukkan aku ke dalam neraka-Nya”.

Ha ha ha ha ha ha….!!

Mendengar jawaban abid yang sangat memilukan dan terkesan memelas tersebut, orang gila tadi kembali tertawa terbahak-bahak dengan suara yang lebih keras lagi.

Dengan kesal abid tersebut berkata:

“Apa yang engkau tertawakan wahai orang gila??!”.

Masih dalam kedaan terkekeh, orang gila tadi menjawab:

“Wahai abid…engkau memiliki Tuhan Yang Maha Adil yang tidak akan pernah berkhianat, tetapi engkau malah takut kepada-Nya”.

“Engkau memiliki Tuhan yang Maha Rahman, Maha Rahim, Maha menerima taubat…tetapi engkau malah takut dengan nerakanya”.

Sambil agak bingung dengan pernyataan orang gila tadi, abid tersebut berkata:

“Apakah engkau tidak takut pada Allah Ta’ala wahai orang gila??!”

Dengan sedikit tertawa orang gila tersebut menjawab:

“Iya…aku takut kepada Allah Ta’ala, tetapi takutku kepada-Nya bukan karena neraka-Nya”.

Mendengar jawaban orang gila tersebut, abid tadi bingung dan tidak habis pikir, kemudian bertanya:

“Jika engkau tidak takut dengan neraka-Nya, lalu apa yang membuatmu takut kepada Allah Ta’ala??!!”.

Tiba-tiba dengan mimik muka yang cukup serius, orang gila tadi menjawab:

“Yang aku takutkan adalah ketika nanti aku bertemu dengan Tuhanku dan Dia menanyaiku…wahai hamba-Ku, kenapa engkau bermaksiat kepada-Ku??!”.

“Jika saja aku ditakdirkan menjadi calon penghuni neraka, aku sangat berharap supaya aku dimasukkan neraka tanpa dihadapkan kepada-Nya dan ditanyai terlebih dahulu”.

“Api neraka lebih ringan menurutku dari pada harus menjwab pertanyaan Allah Ta’ala…aku pasti tidak akan mampu memandang-Nya dengan pandangan seorang pengkhianat ini, serta menjawab pertanyaan-Nya dengan mulut seorang penipu ini”.

“Jika saja dengan dimasukkannya aku ke neraka, itu semua membuat kekasihku ridlo kepadaku…maka dengan senang hati aku menerimanya”.

Kemudian dengan suara pelan dan masih dengan mimik muka serius, orang gila tadi kembali berkata:

“Wahai abid…maukah kamu aku beri tahu sebuah rahasia, tetapi jangan engkau bocorkan rahasia ini kepada siapapun??!”.

Dengan mimik muka bingung, abid tersebut menjawab:

“Apa rahasia tersebut wahai orang gila??!”.

Dengan agak berbisik orang gila tersebut menjawab:

“Taukah kamu wahai abid, bahwasanya Tuhanku tidak akan pernah memasukkan aku ke neraka…taukah kamu kenapaa!!”

Dengan terkejut dan bingung abid tadi berkata:

“Loh….kok bisa begitu wahai orang gila??!”.

Dengan tenang dan tatapan mata menerawang jauh, orang gila tersebut menjawab:

“Itu semua disebabkan karena aku beribadah kepada-Nya dengan dasar cinta dan rindu, sedangkan engkau wahai abid, engkau beribadah kepada-Nya dengan dasar takut serta tamak akan surga-Nya”.

“Persangkaanku kepada-Nya lebih baik dari pada persangkaanmu…harapanku kepada-Nya lebih baik dari pada harapanmu”.

“Oleh karena itu wahai abid, perbaikilah harapanmu kepada Tuhanmu dengan sebaik-baik harapan”.

“Taukah engakau wahai abid…dulu ketika Musa alaihissalam melihat api di gunung Thursina lalu mendatanginya dengan harapan mendapat sedikit kehangatan dari api tersebut, ia kembali menjadi seorang Nabi, dan aku…aku pergi menuju Tuhanku dengan membawa cinta dan rindu untuk melihat keindahan-Nya, maka aku kembali sebagai orang gila”.

Setelah berkata demikian, tiba-tiba orang gila tersebut kembali terawa terbahak-bahak lalu pergi meninggalkan abid begitu saja. Dan dengan dihinggapi rasa takjub yang luar biasa atas ucapan orang gila tadi, sambil kembali menangis abid tersebut berkata:

“Subhanallah…orang gila tadi adalah bukan orang sembarangan, dia adalah paling cerdas-cerdasnya orang yang pernah aku temui sepanjang hidupku”.

Label: 0 komentar |
fnc muslimah

Siapa aku Ma...

Aku hanya titik kecil

Yang tak terlihat dimata mereka

Siapa aku Ma..

Aku hanya warna kelam

Yang sejenak terang dibalur cahaya

Lalu kembali menghitam

Siapa aku Ma..

Siapaaaaa???

Tangisku pecah kala kuurai isi hatiku, dan badai yang kuterima pagi ini..

Mama tersenyum dan menjawab dengan lembut

Kau adalah anakku yang terbaik, meski dunia tak melihatmu

Tapi kau selalu ada dalam mataku

Kau adalah cahaya kasihku yang berharga

Yang selalu menerangi jalan menuju surganya

Kau adalah sepenggal doa dan amanat dari Allah Azza wajalla

Biar saja sayang.

Biar saja mereka mengabaikanmu dan membuangmu

Akan ada tempat untukmu yang lebih baik dari apa yang ada dimata mereka

Allah tahu yang terbaik sayang..

Dan kau adalah mutiara bagiku..



Juli 2012
fnc muslimah
Tanggal 1
Surat Al Fatihah (Pembukaan)
Menyukai hal baru, berbakat menjadi
pemimpin, seorang pioneer (pelopor),
idealis, cenderung ingin sempurna,
pandai memanfaatkan kesempatan,
egois, harus selalu jadi prioritas utama,
sering mengulangi kesalahan yang
sama, orang yang belum mengenalnya
akan mengira sebagai sosok yang
angkuh dan sulit ditaklukkan.


Tanggal 2
Al Baqarah (Sapi Betina)
Pekerja keras, taat akan hukum dan
aturan, memiliki jiwa sosial dan
kepedulian tinggi, menyukai hal-hal
yang bersifat rutinitas, jika dia mampu
ada cenderungan menjadi seorang
dermawan, kurang inisiatif, sering
dimanfaatkan orang lain serta
gampang percaya kepada orang lain.

Tanggal 3
Al Imran (Keluarga Imran)
Seorang pemimpin (walaupun dalam
kelompok kecil), berhati-hati dalam
bertindak, mengayomi, tegas, suka
suasana perdebatan dan agak cerewet,
jika wanita ia cenderung tomboy, ingin
menang sendiri, seorang pemimpi dan
sering berfantasi.

Tanggal 4
An Nisa (Wanita)
Sensitif dan perasa, feminim, protektif
terhadap keluarga, kreatif, kompak tapi
mudah dipengaruhi, agak jahil (iseng),
dan penggoda.

Tanggal 5
Al Maidah (Hidangan)
Diperlukan banyak orang, menyukai
perubahan, memiliki insting yang
lumayan, cepat bosan, ingin dilayani,
susah diatur.

Tanggal 6
Al Anaam (Binatang Ternak)
Punya insting tajam, kurang mandiri,
terkadang seenaknya sendiri,
emosional, pemalu dan kurang
percaya diri, dan cepat berubah
pikiran.

Tanggal 7
Al A’Raaf (Tempat Tertinggi)
Cermat dan teliti, mudah mengambil
hati orang lain, penuh inspirasi, terlihat
sombong, suka meremehkan dan
cepat puas.

Tanggal 8
Al Anfaal
Optimis, mobilitas tinggi, menyukai
perubahan, emosional, gampang
berubah pendirian, saat marah suka
menyakiti diri sendiri.

Tanggal 9
At Taubah
Pemaaf, perfeksionis, mudah bergaul,
tegas, tidak suka basa basi, tidak cepat
puas, ingin selalu diperhatikan, keras
kepala dan mudah goyah.

Tanggal 10
Yunus
Cepat menyesuaikan, banyak cara
keluar dari persoalan, setiap kemauan
harus terpenuhi, licin dan cerdik, tidak
bisa dikekang dan susah diatur, mudah
menyangkal dan banyak alasan.

Tanggal 11
Huud
Dibutuhkan banyak orang, mudah
menerima, berhati-hati dalam berbuat,
tidak banyak kemauan, pasif, terkadang
diremehkan, peka perasaan.

Tanggal 12
Yusuf
Percaya diri, optimisme tinggi, tekun,
teliti, disukai banyak orang, emosional,
tidak mudah percaya, tidak bisa
menahan keinginan, ambisius.

Tanggal 13
Ar Ra’du (Guruh / Petir)
Pemikir, dinamis, menyukai perbedaan,
mudah menarik perhatia, logis, suka
berdebat, tempramental, lambat
memahami sesuatu.

Tanggal 14
Ibrahim
Pembimbing yang baik, patuh pada
aturan, keras dan tegas, banyak
rencana, rela berkorban.

Tanggal 15
Al Hijr (Batu)
Perfeksionis, keras kepala, telaten,
gampang goyah pendiriannya, mudah
dipengaruhi.

Tanggal 16
An Nahl (Lebah)
Rajin dan tekun, ramah, peka pada
suasana di sekitarnya, berjiwa sosial,
pandai memanfaatkan kesempatan,
rapi, cerewet, sensitif dan agak
cengeng, pendendam.

Tanggal 17
Al Israa
Idealis, banyak ide, suka berkhayal,
emosional, lebih produktif jika
beraktivitas pada malam hari (kegiatan
yang baik dan bermanfaat).

Tanggal 18
Al Kahfi
Suka menolong, pengamat yang baik,
pandai menyimpan rahasia, tidak
mudah percaya, suka memendam
masalah dan mengurung diri, susah
ditebak maksudnya.

Tanggal 19
Maryam
Pengasuh, kekanak-kanakan, menyukai
anak-anak, suka mengajar, sabar,
memiliki banyak cara menyelesaikan
masalah, bicara berdasar bukti, sering
difitnah.

Tanggal 20
Thaha
Misterius, suka bepergian, memegang
teguh aturan, suka lari dari masalah.

Tanggal 21
Al Anbiyaa
Bertanggung jawab, seorang
pemimpin dan pemikir, pendengar
yang baik, menerima apa adanya
(ikhlas), tidak banyak kemauan.

Tanggal 22
Al Hajj
Segala sesuatu harus sempurna,
mudah dipengaruhi, gampang
terpengaruh, terburu-buru ingin cepat
sampai tujuan, menyukai keramaian,
sering berfikir muluk.

Tanggal 23
Al mu’minuun
Normatif, sensitif, feminim, fanatik
terhadap sesuatu, mudah terpancing
emosinya.

Tanggal 24
An Nuur
Mudah memberikan jalan keluar,
cermat memilah masalah, pendengar
setia, mudah tersinggung, suka
mengungkit-ungkit, gampang
menyalahkan.

Tanggal 25
Al Furqan
Punya skala prioritas, gemar
membandingkan, ceplas ceplos,
kurang inisiatif dan tidak banyak
kemauan.

Tanggal 26
Asy Syuara
Pandai mengambil hati, suka berbelit-
belit, kurang berani untuk
menyampaikan keinginan, agak
cerewet, tidak banyak keinginan,
kurang romantis.

Tanggal 27
An Naml
Insting kuat, memiliki perencanaan
yang baik, pandai memanfaatkan
peluang, susah bekerja sendiri, mudah
panik, tidak bisa disalahkan, mudah
tersinggung, tidak bisa ditentang.

Tanggal 28
Al Qashash
Berani menyampaikan keinginan dan
pendapat, memegang komitmen,
mudah bergaul, tidak pernah
kehabisan bahan pembicaraan,
pendendam, emosional, romantis,
pencemburu.

Tanggal 29
Al Ankabuut
Banyak kenalan, sabar, dinamis, kurang
menyukai keramaian, tidak berfikir
panjang, kurang pandai memelihara
jaringan, bekerja kurang sistematis,
mudah tersinggung.

Tanggal 30
Ar Ruum
Optimis, banyak akal, anggun,
tempramental, suka bertindak
semaunya dan ingin menang sendiri,
pencemburu berat, setiap kemauannya
harus dipenuhi.

Tanggal 31
Lukman
Bijaksana, seorang pemimpin,
melindungi komunitasnya, sabar, tekad
kuat, otoriter, setiap perintahnya harus
dituruti.


source: facebook

*Benar tidak yah?