fnc muslimah

 
“Aku menyerah…,” tatapanku lesu namun tidak dengan irama sepatu yang kian cepat saja meninggalkan ceruk-ceruk pada tanah basah di bawah kami.


Seseorang berjalan lebih cepat mendahului kami berdua.


“Kamu tidak boleh seperti itu, Zia…” Setelah melihat orang tadi, Safira langsung menggenggam tanganku dan mempercepat langkah lagi. Aku mengikuti irama kakinya. Kulihat jam di tanganku.


“Masih ingat kan apa yang aku katakan dua hari lalu?” Matanya lekat menatapku dan aku memang harus menjawab pertanyaan itu.


Aku mengangguk lesu. “Tapi rasanya sulit sekali, Fir.” Gelenganku mengikuti kemudian.Kami menyeberang. Hampir saja sebuah motor matic menyerempet. Di depan sudah ada gerbang kampus. Kami bergegas. Takut kalau-kalau Pak Wijayanto sudah berada di kelas menjelaskan tentang Teorema Limit. Teorema yang baru aku sadari betapa sesungguhnya tak sesederhana saat aku masih SMA. Ya, kupikir aku tidak akan bertemu lagi dengannya di semester lima ini. Tetapi sungguh yang kualami sekarang nyatanya adalah invers dari apa yang aku pikirkan. Pengembangan teorinya justru jauh lebih kompleks dari yang sudah-sudah.

Terkadang aku berpikir untuk menghindarinya saja—maksudku membatalkan mata kuliah ini. Analisis Real. Ia sungguh bagai sebuah negeri antah-berantah di mataku. Meski terdengar lebih baik dengan konsep generalisasinya—yang memang seperti itulah dunia Matematika. Tapi terus terang saja itu membuatku pening. Bahkan pernah terbersit pula olehku bahwa memasuki Fakultas MIPA dan memilih program studi Matematika di Universitas Mataram ini adalah hal yang seharusnya tidak aku lakukan. Apalagi melihat hubunganku dengan Pak Wijayanto. Dekat, sungguh dekat. Begitu kata mereka, teman sekelasku mengolok-olok diriku. Padahal bagiku tidak sama sekali. Masalahnya aku sendiri juga heran mengapa Pak Wijayanto selalu mengincar aku untuk menjawab pertanyaannya yang tidak bisa kujawab. Oh, itu memalukan. Itu setara dengan kekejaman versi Zianita Wulandari.

Aku merutuk sendiri dalam diam. Bola mataku berputar hingga kelopak mata terasa pegal. Safira menarik tanganku agar berjalan lebih cepat lagi. Dan aku harus memulihkan semangat itu. Semangat yang dulu pernah sama-sama kami bangun.

“Aku tahu ini memang sulit. Tapi… selama semangat berusaha itu masih ada. Jalan akan terbuka juga meski satu saat nanti. Kita harus tetap berjuang, Zia. Ingat mimpi-mimpi kita!”

“Aku sudah berjuang, Fira… tapi apa? Aku tetap saja seperti ini. Aku tidak sama seperti dirimu yang memang pintar. Semakin lama aku di sini semakin terlihat bahwa aku sebenarnya hanya manusia bodoh. Aku tak bisa sepertimu. Ya Allah… siapakah aku ini? Makhluk idiot? Aku bingung, Fira. Aku lelah. Mimpi itu sangat jauh. Jauh, dan semakin menghilang.” Aku mendesah dan menekan kepala hingga jilbab biru manis di kepalaku ini mengusut.

Safira menghentikan langkahnya. Aku juga. Lalu sigap ia melangkah lagi dan kini tepat berdiri menghadapku. Digenggamnya pundakku dengan kuat, hingga membuatnya seakan-akan tegak kembali. Sementara itu, pintu kelas sudah tinggal 5 meter lagi dari tempat kami berdiri.

“Dengar,,” tatapnya lembut. “Allah tidak pernah salah menciptakan. Dia hanya senang melihat hamba-Nya berusaha keras. Kamu pernah gagal. Begitu juga aku. Setiap di antara kita, Allah tentukan jatah kegagalannya masing-masing. Allah ingin melihat kita berusaha.”

Begitulah Safira. Pembawaannya yang bijak selalu berhasil mem-pause segala keluh yang sebelumnya membawa lenguh dalam diriku. Ya! Hanya bisa mem-pause. Karena pada dasarnya akulah yang sangat gampang lelah dengan kata yang namanya perjuangan. Padahal aku mempunyai mimpi-mimpi yang sangat besar.

Lalu ia mengeluarkan sebuah note kecil dan merobeknya satu lembar. Ia tulis di atasnya sebuah kata. Dan melanjutkannya dengan beberapa—entah itu huruf atau kata lagi. Aku tidak terlalu memperhatikan tulisan itu. Lagipula Safira menulisnya dengan cepat dan segera melipat kertas kecil itu. Ia memberikan lipatan kertas itu padaku. Sembari aku menggenggam kertas itu. Ia pun menggenggam tanganku.

“Aku yakin kamu pasti mengerti apa yang kutulis ini,” Safira mengepalkan tangan. Sebuah kebiasaan umum jika memberikan semangat pada orang lain.

Pintu kelas yang tinggal lima meter lagi lebih mengusik pikiranku. Aku harus cepat-cepat masuk ke sana. Dan tentu saja Safira juga. Kertas ini kemudian masuk ke saku kanan gamisku.

“…maka mutlak f(x) min L kurang dari epsilon…” Sayup-sayup suara Pak Wijayanto keluar dari pintu itu. Aku dan Safira sudah terlambat 5 menit. Tak apa. Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali.

***

Terkhusus untuk mata kuliah yang diampu Pak Wijayanto. Aku selalu bete di setiap mata kuliahnya. Lama-lama aku semakin sebal dengan Pak Wijayanto. Takut, lebih tepatnya. Tak pernah sekalipun aku mendapatkan nilai di atas C. Ini meyebalkan. Mana bisa aku mengejar nilai-nilai Safira kalau begini. Apalagi, perlakuan Pak Wijayanto yang tak pernah absen membuatku malu di depan teman-teman. Seperti tadi pagi.

“Zianita… tolong beri saya alasan mengapa kita memilih 1/n sebagai δ -nya di pembuktian teorema ini?”

Kaget bukan main. Menghadapi pertanyaan tiba-tiba seperti itu selalu saja membuat detak di lubukku semakin berpacu. Ah… Pak, mengapa mesti aku?

“E…e…e… anu. Mmm…,” keras otakku berperas. Sebulir keringat terasa merayap di pelipisku. Lama waktu terdiam. Mereka semua memandang ke arahku. Seakan-akan aku satu-satunya tontonan yang akan bersiap meledakkan tawa mereka. Safira seperti berbisik padaku. Kegugupanku membuat bisik itu terdengar sangat kecil. Dan aku tak bisa mendengar apa pun.

Ini hal yang selalu berulang di setiap kuliah beliau. Betapapun… ini adalah pertanyaan yang timbul tadi malam saat aku mempelajari The Limit of Function karangan Robert G. Bartle. Dan seharusnya aku yang bertanya pada beliau. Tapi… tahulah aku. Tak pernah barang sekalipun aku berani bertanya, sama seperti yang dulu-dulu. Selalu rasa gemetar mendominasi dan mengalahkan keberanianku. Dan herannya, pertanyaan-pertanyaan mematikan Pak Wijayanto yang selalu mengarah padaku itu selalu persis dengan pertanyaan-pertanyaanku.

“Emm… itu… justru yang ingin saya tanyakan ke Bapak, sebenarnya,” sambil meringis menahan malu.

Dua-tiga orang mulai terlihat menahan sedak. Tapi… apakah aku memang harus malu? Ada yang aneh dengan jawabanku? Aku tidak tahu. Sebulir bening kembali terasa merayap di pelipisku. Yang aku rasakan adalah semacam… perasaan malu, harus sempurna, dan orang lain tak boleh melihat kelemahanku. Entahlah, terkadang aku bingung dengan diriku sendiri.

“Kalau begitu, apakah cluster point harus berada di dalam himpunan? Saya ingin mendengar pendapatmu!”

Matilah aku. Itu…

“Itu… juga hal yang…”

“Hal sama yang ingin kamu tanyakan pada saya?” Pak Wijayanto meneruskan kalimatku dengan gaya khasnya. Menurunkan kacamata sedikit sambil menundukkan kepala lalu mata bulatnya memandang bulat-bulat setiap anak didiknya yang juga bertingkah sama sepertiku.

Aku kikuk. sementara yang lain asyik tertawa.

“Saya khawatir apakah kamu benar-benar ingin menanyakannya karena ketertarikanmu di mata kuliah saya atau kamu memang tak pernah tahu apapun!”

Ahhh… kalimat itu. Seperti ada yang meleleh di hatiku. Ya, mungkin kau benar, Pak. Aku memang tak bisa apa-apa. Untuk itu aku ingin menyerah. Bisakah aku menyerah? Air mataku hampir saja keluar. Sampai ketika Safira mengeratkan jemarinya di sela-sela jemarikku. Zia, kuatkan hatimu.

“Safira… bagaimana denganmu?” Bapak itu mengalihkan pertanyaan tadi pada teman yang duduk di sebelahku.

Tentu saja… Safira menjawabnya dengan lancar tadi pagi.

Sekarang aku menatap lembaran kecil yang berada di atas meja belajarku. Ia berada di antara kedua siku tanganku. Telapak tanganku menopang wajah ini dan mataku memindai huruf demi huruf pada lembaran di bawahnya.

Sukses= K-n, n= 1,2,3,...K

Lama aku memikirkan maksud Safira menuliskan ini untukku. Tapi sekian detik kemudian aku tersenyum. Dasar anak Matematika! Mau memberi nasihat saja pakai rumus.

Ya, aku mengerti. K adalah jatah kegagalan kita dan n adalah jumlah kegagalan-kegagalan kita -->. Aku menafsirkannya seperti ini: Betapapun seringnya kita gagal maka pandanglah ia dengan positif. Sesungguhnya kita ini berjalan di atas takdir. Baik itu kesuksesan atau kegagalan, keduanya juga takdir. Setiap manusia mempunyai jatah kegagalan masing-masing. Maka semakin banyak kita mengalami kegagalan justru itu pertanda kesuksesan semakin dekat, karena kegagalan kita berkurang satu demi satu. Ah… Safira, aku menjadi semakin menyayangimu.

Aku berlari menarik pintu. Pergi ke rumah Safira dan ingin segera memeluk makhluk imut –yang jilbabnya tak imut itu.

***


Terkadang aku tiba-tiba saja suka memikirkan hal ini. Saat jalan sendirian pulang, saat duduk menatap nilai A yang tumben-tumbennya bersinar di lembar jawabanku, dan saat dalam kesendirian itulah aku memikirkan hal ini. Betapa bersyukurnya aku… karena Allah telah memberikan Safira sebagai sahabatku. Bagaimana tidak, ia selama ini teman bersama untuk berjuang melewati hari-hari melelahkan di kampus almamater biru ini. Berkutat dengan segala tugas-tugas. Berkubang dengan teorema-teorema. Belum lagi menghadapi serangan pertanyaan Pak Wijayanto. Karena Safira, aku masih tetap bertahan di sini. Tentu saja juga karena mimpi mimpiku—dan juga mimpi-mimpi Safira.

Aku ingin melanjutkan S2 ke Jepang. Orang-orang mungkin bertanya seperti juga orang tuaku. Mengapa mesti Jepang? Percaya atau tidak, semua karena aku sangat jatuh cinta dengan bunga sakura. Aku ingin melihatnya secara langsung ketika ia mekar dengan warna pink-nya. Dan ketika aku mulai mengenal Safira di tahun pertama kuliahku, ternyata ia juga memiliki cita-cita yang sama denganku. Bedanya, alasan mengapa ia memilih Jepang adalah karena hanya ingin membuktikan pada diri sendiri dan orangtuanya bahwa ia bisa, meski orang lain menganggapnya mustahil.

“Mengapa orang lain menganggapnya mustahil?” tanyaku ketika itu.

“Kau tahu? Ayahku seorang tukang sol sepatu. Sejak SMA, aku berkeliling kampung mencari orang yang bisa kucuci pakaiannya. Upah dari mencuci itulah yang mencukupi biaya sekolahku, membuat kami bisa makan tiap hari. Sedangkan mendapat ranking pun di SMA tidak pernah. Bahkan nilai ujian kelulusan kemarin pun aku yang terendah di antara teman-teman sekelas” jawabnya sambil tersenyum, memandang lurus rumput-rumput yang terhampar hijau di belakang gedung auditorium. Tempat itu adalah tempat favorit kami. Di sanalah biasanya kami mendiskusikan pelajaran atau sempat-sempatnya saling menceritakan segalanya tentang hidup kami.

Aku takjub memandangnya di sampingku. Melihat ada sedikit bening yang menyelimuti bola matanya, aku mulai terbawa oleh apa yang ia rasakan. Entah apa yang ia rasakan saat itu. tapi aku masih ingat bahwa ada getir juga di dadaku kala itu. Jika dibandingkan dengan aku, mungkin aku lebih beruntung karena pekerjaan orangtuaku lebih menyejahterakan dibandingkan Safira. Rankingku pun saat SMA tak pernah turun juga tak pernah naik. Stagnan di angka 4. Itu pun bukan angka yang istimewa. Tapi jika melihat Safira, itu tentu menandakan aku lebih baik daripadanya.

Ketika aku mengetahui bahwa IP-nya 3,40 waktu di semester satu, aku menjadi semakin takjub lagi. Sedangkan IP-ku saat itu hanya 2,79. Apalagi semakin lama Safira terlihat makin aktif di kelas. Entah itu bertanya atau menjawab serangan pertanyaan ala Pak Wijayanto. Ia selalu berhasil. Ia juga aktif di organisasi yang sama sepertiku. Tapi jabatan yang ia peroleh selalu di atasku. Intinya setiap bergantinya waktu aku melihatnya semakin lebih baik dan lebih baik lagi. Sedangkan aku? Sibuk di organisasi selalu menjadi alasan mengapa nilai-nilai akademisku tak pernah mengalami peningkatan. Padahal Safira tak kalah sibuknya denganku.

Tentu saja aku penasaran. Bagaimana bisa ia membagi waktu di tengah kegiatan organisasinya yang berjubel itu? Maka ketika aku menanyakan padanya mengapa kenyataan yang aku lihat berbeda dari yang pernah ia katakan dulu di awal, aku memperoleh jawaban yang saat itu juga mengubah hidupku.

“Mengetahui Ibu sudah tiada. Ayahku yang hanya tukang sol sepatu. Dan dengan sol sepatu itulah aku bisa tetap menyelesaikan belajarku di sekolah favorit. Sedang aku… tak pernah mempersembahkan nilai yang bagus untuk Ayahku, maka apalagi hal baik yang masih tersisa dariku? Tak ada satupun prestasi yang bisa kubanggakan. Sama saja aku ini adalah sampah. Apa kau ingin hidup seperti sampah, Zia?”

Spontan aku menggeleng. Siapa orang yang mau dianggap tidak memiliki eksistensi? Semua orang ingin diakui keberadaannya. Bukan dibuang dan tak diperhatikan seperti sampah. Aku yakin tak ada yang mau.

“Begitu juga denganku. Aku tak ingin menjadi sampah lagi…” Ia mengalihkan pandangannya dari rumput hijau ke wajahku. Tersenyum dan ada bening yang sepertinya memaksa keluar dari matanya.

“Hey… kamu menangis?” Pertanyaan yang sebetulnya tak perlu kulontarkan. Karena ya… lihat saja sebulir air itu kini sudah membentuk garis bening di pipinya. “Bukankah harusnya kamu bahagia, setelah apa yang kamu dapatkan ini?” tanyaku.

Ia masih tersenyum dengan air matanya dan kemudian melingkari leherku dengan lengannya. “Kalau dalam operasi matematika. Senyum ditambah airmata itu sama dengan tak hingga rasa syukur” ia melanjutkan.

Aku tertawa mendengarnya. Ia juga menambah tawa itu. Rumpu-rumput hijau itu pun menyaksikan. Mungkin mereka tersenyum juga mendengar bisik hatiku saat itu yang mengatakan…

Aku ingin menjadi seperti Safira.

***

Dua tahun setengah terasa berlalu begitu cepat. Besok adalah hari wisudaku dilaksanakan. Jika mengingat saat-saat pengujian skripsi beberapa waktu lalu, sungguh betapa ketegangan itu masih bisa kurasakan. Apalagi pak Wijayanto masuk di deretan penguji, saat itu. Tentu saja aku tak akan membiarkan hal-hal yang tak kuinginkan terjadi selama pengujian itu. Maka kupersiapkan semuanya dengan matang. Hasilnya, aku mampu melewati semua itu.

Kutarik dan hembuskan napas pelan-pelan. Aku mencoba mengingat kembali perjuangan setahun tanpa Safira. Apa kabar kau di sana, Safira? Safira memang sudah lulus setahun yang lalu. Ia lulus Cum Laude dengan IPK 3,90. Makhluk pintar itu menyelesaikan kuliahnya dengan tiga setengah tahun. Sedang aku empat setengah tahun. Selesai diwisuda, ia langsung berangkat ke Jakarta. Di sana ada JASSO (Japan Student Service Organization), tempat ia mengurus segala persiapan S2-nya. Dan tadi malam ia mengabariku bahwa ia telah berhasil mendapatkan beasiswa S2 dari pemerintah Jepang (Monbukagakusho) dan diterima di Department of Mathematical Informatics, University of Tokyo. Ah… Safira. You’re really something.

“Safira… kau tahu apa yang kurasakan sekarang?” Segera saat malam wisuda itu, kulayangkan pertanyaan pada Safira lewat telepon.

“Apa?” terdengar suaranya di seberang.

“Semacam perasaan benci…”

“Apa benci itu untukku?”

Aku tersenyum. “Bagaimana bisa aku membenci makhluk yang telah mengubah hidupku?” Dari balkon kamarku di lantai atas, tatapanku menerawang ke langit malam yang sedang memerah butiran air dengan pelan. Dingin sekali… tapi seperti yang telah kukatakan bahwa aku sangat senang menikmati hujan. Suasana ini sangat nyaman bagiku.

“Sepertinya kau akan lebih dulu merasakan musim semi yang dulu kita kejar bersama. Kuakui kau lebih cepat berlari. Aku sudah mengerahkan segala kemampuanku untuk bisa sama sepertimu. Tapi aku tetap tak bisa. Aku sedikit kecewa. Tidak denganmu, Safira. Tapi pada diriku sendiri yang tidak bisa menyamai langkahmu.” Aku melanjutkan kalimatku.

“Ayolah… kau masih saja tidak bersyukur. Bahkan dengan gelar cum laude-mu saat ini?” sambil mengeluarkan tawa ringannya ia menuduhku tak bersyukur begitu saja. Tapi bagaimanapun ia sepertinya benar juga.

“Hey, begini… dengarkan aku!” sedikit tegas ia memecahkan lamunanku. “Hidup itu indah seperti Teori Limit.”

“Sigh… kau memulai lagi nasihat rumusmu itu…”

“Oi… biarkan aku selesai bicara.”

“Baiklah”

“Dekat sedekat-dekatnya tapi tidak pernah sama. Itulah inti dari Teori Limit. Dalam hidup… ada titik-titik tertentu yang ingin kita capai. Titik-titik itu adalah ukuran kebaikan menurut versi kita masing-masing. Seperti ketika kita ingin mengenal dan merasakan kehadiran Allah lebih dekat. Maka semakin banyak kita mengamalkan nilai-nilai kebajikan yang terkandung dalam Asma’ul Husna-Nya, akan semakin besar kesanggupan kita untuk mengalami kehadiran-Nya. Akan semakin persis kita dengan Asma’ul Husna-Nya, tetapi tidak akan pernah menjadikan kita sebagai Tuhan.”

“Dan kau tahu, apa kesamaannya dengan kasusmu ini?” tanyanya di seberang.

Tetap aku terdiam. Berusaha mencerna dan menghubung-hubungkannya. Selama ini aku berjuang agar bisa sama seperti Safira. Melakukan usaha semaksimal mungkin, dari mengikuti gaya belajarnya, selalu minta diajari ini-itu, dan sebagainya hanya supaya aku bisa menyamai Safira. Dan pada akhirnya aku mendapatkan kebaikan lain yang berbeda dengan Safira. Salah satunya Cum Laude yang baru saja (meski telat) kudapatkan.

Ya. Aku dekat sedekat-dekatnya dengan Safira. Tapi tidak akan pernah menjadikanku sebagai Safira. Jika aku ngotot ingin sama persis. Maka itu menyalahi kodrat. Karena setiap kita diciptakan dengan keistimewaan masing-masing. Allah lebih tahu yang terbaik untuk setiap hamba-Nya.

“Benar sekali…,” suara di seberang mengagetkanku.

“Hey… bagaimana kau bisa tahu? Aku belum mengatakan apa pun!”

“Haha… Aku kan punya telepati yang baik terhadap sahabatku yang satu ini.”

Aku tertawa. Masih saja tak percaya. “ Serius, Safira… bagaimana kau bisa tahu?”

Kembali ia tertawa. “Sebenarnya, aku hanya yakin kamu selalu bisa mengerti apa yang kumaksud.”

Dan malam ini… kurasakan suara hujan seperti suara tawa makhluk imut—yang jilbabnya tak imut itu.

=o0o=

Epilog:

Aku tak kan berhenti mengejarmu. Selama jiwa ini selalu menemukan apa yang mesti kulakukan untuk melewati setiap fase hidupku. Sakura… semangatmu seperti bersemayam dalam darahku. Aku tersenyum menyambut fase baru dalam hidupku yang lebih menantang lagi untuk kulewati. Sama seperti saat kau antusias ketika menyambut musim semi dengan mengerahkan tenagamu membuka tiap kelopakmu. Di sana… telah ada bersamamu sahabat terbaikku. Kalianlah mimpi-mimpiku.

sumber:annida-online

 
Label: 0 komentar |
fnc muslimah

Ayah akhirnya melepaskan derita yang hampir dua setengah tahun seolah menghukumnya di atas lapik tipis itu. Saya sempat melihat bokong ayah seperti borok. Hati saya trenyuh. Apalagi dua hari sebelum menyerahkan nyawa kepada Penguasa Jagat---dalam komanya---sempat dia menatap saya sejenak, seolah mengatakan selamat datang dan selamat tinggal, Nak. Kau telah tiba dari rantau orang.

Selepas azan Ashar, tiba-tiba nafas ayah berat dan terhenti dua kali. Pada hitungan ketiga, dia berhasil melepaskan hasrat keduniawiannya. Meninggalkan kesukaan, juga berbagai sengkarut hidup yang sangat sulit ditaklukkan.

Kami sekeluarga meneteskan air mata. Hanya sedikit. Bukan karena rasa sedih yang kurang. Hati kami sebenarnya melarat, tapi kami tak ingin hati yang melarat ini terbit di mata sebagai bah, terbit di mulut menjadi ratap. Kami tak mau dia menghadap Allah dengan hati penuh beban.

Di sini kukabarkan, ayah adalah pemaham yang taat terhadap organisasi keagamaan yang dipertahankannya sejak dulu hingga kematian mencabiknya. Begitupun dia tak ingin menerapkan tangan besi kepada kami, anak-anaknya, termasuk kepada istrinya sendiri. Dia membebaskan kami memilih cara menerapkan ibadah masing-masing, asal iman kami tetap Islam.

Dan saya salut terhadap keterikatannya terhadap organisasi yang sangat minim di daerah kami. Konon dari tahun demi tahun, organisasi keagamaan itu tetap terkucil. Bahkan kaum organisasi keagamaan lain dan yang lebih besar, sekali-sekali mengolok, seolah merasa lebih benar agamanya. Padahal bukankah dua-duanya Islam? Terus-terang saya merasa sepaham dengan organisasi keagaamaan tempat ayah bernaung. Sekadar sepaham!

Hujan rintik-rintik seolah mengucapkan kalimat turut berduka cita. Hujan juga mempercepat senja menjadi kelam. Kami anak-beranak mulai sibuk merencanakan prosesi pemakaman ayah, serta apa-apa saja yang melengkapi dari itu. Kemudian seorang lelaki yang lebih tua sekira sepuluh tahun dariku, mencoba menyela kesibukan kami, yang jujur saja masih dengan hati meratap.

Kumis orang itu bergerak-gerak lucu. Tapi kami tak ingin tersenyum untuk hal lucu pada waktu yang tak tepat. Dia membisikkan sesuatu kepada kakak tertua saya. Mereka menyepi di dekat pintu belakang rumah. Sengaja saya menyusul, tak ingin tertinggal perbincangan. Bagaimanapun saya adalah anak laki-laki tertua dalam keluarga, berhak lebih tahu, dan memiliki kekuatan memutuskan perkara.

“Apakah kalian sudah mempersiapkan segalanya?” Dia bertanya serius. Dia melirik ke kiri dan ke kanan seolah ingin mengatakan yang sangat rahasia.

“Sudah! Mengenai kain kafan telah disiapkan emak jauh-jauh hari. Orang yang menjadi pemandu memandikan mayit, juga telah bersedia membantu. Tempat penguburan sama sekali tak ada masalah.” Kakak seperti buru-buru meninggalkan lelaki itu. Masa berkabung terkadang membuat orang pelit berbincang.

“Bukan itu yang saya maksudkan. Saya ingin menanyakan apakah lauk-pauk dan nasi sudah disiapkan? Apakah bahan-bahannya sudah ada?” Lelaki itu terdiam sejenak. Hati saya seolah tertusuk jarum. Saya hampir memaki lelaki itu. Sudah tahu kami sedang kesusahan, dia malahan memberikan usul yang tidak-tidak. Tapi kakak tak ingin memprotes. Dia hanya mematung.

“Maksudnya?” Saya tak ingin menjadi pendengar saja. Lelaki itu menoleh seolah menganggap saya tak ada. Saya orang perantau yang hampir enam tahun meninggalkan kampung halaman. Hanya setiap lebaran saya pulang. Mungkin itu penyebab dia memandang saya sebelah mata, apalagi mendengar pertanyaan saya yang bernada tak menyenangkan.

“Maksudnya bukan untuk pelayat-pelayat yang berasal dari kampung kita. Tapi bagi tetamu dari tempat-tempat jauh. Kan tak enak membiarkan mereka kelaparan di sini. Bukan untuk kami-kami di sini.” Dia seolah membela diri. Tapi saya tak ingin tenggelam dalam rayuannya.

Seharusnya dia hadir untuk membantu kelancaran prosesi pemakanan ayah. Bukan membuat kening kami berkerut. Karena seluruh anak ayah, tak ada yang bisa dikatakan berpunya. Hanya kakak sulung saya sedikit lebih sejahtera. Kakak nomor dua pengangguran. Adik laki-laki saya belum tetap pekerjaannya. Sedangkan saya, apa? Pulang ke kampung saja dengan kondisi mendadak, harus berjibaku meminjam uang ke beberapa teman untuk ongkos transportasi, juga bekal di perjalanan dan di kampung.

Kakak tak ingin membuat lelaki itu menjadi pemberita, bila kami tak menuruti sarannya. Kalau sampai berita menyebar dari mulutnya yang memang runcing, alamat tertatih-tatih kami melaksanakan prosesi pemakaman ayah. Siapa yang kelak mau memanggul keranda ayah kalau bukan orang-orangnya lelaki itu?

“Bagaimana caranya, abanglah yang mengurusnya.” Akhirnya keluar juga jawaban itu dari mulut kakak. Lelaki itu tersenyum. Gerakan kumisnya semakin lucu. “Berapa kira-kira habisnya?” Maksud kakak berapa kira-kira biaya keseluruhannya.

“Mungkin butuh tiga kilogram daging sapi, lima ekor ayam, setengah karung beras, bumbu-bumbu, minyak tanah. Cukuplah sembilan ratus lima puluh ribu. Tapi untuk biaya tak terduga, cukupkan saja satu juta.”

Kakak mengangguk berat. Setelah lelaki itu pergi dengan senyum penuh kemenangan, saya menarik tangan kakak ke kamar tidur. Saya mengatakan tak setuju bermewah-mewah dengan bertanak segala macam begitu. Masih banyak keperluan lain, misalnya membayar utang-utang ayah. Hanya saja kakak tetap takut prosesi pemakaman ayah akan dikucilkan warga sekitar yang mayoritas berseberangan organisasi dengan ayah. Kakak akan mempergunakan sementara uang tabungannya. Bila pun kelak kurang, dia bisa meminjam kepada Om Sabarudin. Dia camat di daerah kami

“Tapi Om Sabarudin sombong, Kak!”

“Biarlah!”

Akhirnya bertanak-tanak memuakkan itu terjadi juga. Saya merasa tak enak hati. Seandainya ayah melihat kondisi yang terjadi, dia pasti marah besar. Dia yang tak pernah mempergunakan tangan besi, bisa-bisa mempergunakan tangan titanium sekalian biar lebih keras. Ayah mungkin akan sakit hati di alam sana.

Entah karena ayah ikut campur-tangan masalah bertanak-tanak, atau memang sudah kebiasaan bila setiap ada yang meninggal di suatu rumah, tiba-tiba sekuali besar gulai ayam, basi hanya dalam hitungan sekira lima jam. Saya yang tak sengaja menyenduknya di pagi berkabut, meneriakkan gulai ayam telah basi. Padahal malam harinya gulai ayam itu telah dipanaskan tiga-empat kali.

Sebenarnya selain itu, bertambah-tambah juga kejadian yang pasti membuat ayah sangat kesal. Setelah ayah dikebumikan, selepas isya, tikar dibentang di halaman depan dan samping rumah. Beberapa ibu sibuk menyiapkan gelas dan piring kecil. Kakak seperti gasing memutar ke sana-ke mari. Isi kepalanya barangkali ikut bergasing. Dia baru pulang dari pasar menjelang maghrib. Dia membawa aneka paganan berupa kue-kue. Kue-kue itulah pengisi piring kecil. Gelas-gelas sengaja dikosongkan. Dua buah ceret, yang satu berisi air kopi manis, dan satunya lagi berisi air teh manis, kelak selesai acara diedarkan. Gelas-gelas yang kosong akan diisi air dari ceret sesuai keinginan tetamu yang menjadi peserta acara itu.

Hati ini semakin tersayat. Seharusnya kami sekeluarga masih dalam kondisi berkabung dan harus istirahat. Namun demi tak terkucil, kami mengikuti tradisi yang sudah sangat dimaklumi di tengah masyarakat kami.

Kami seperti mengadakan pesta atas kematian ayah. Kami seolah mensyukuri dirinya telah tiada. Orang-orang yang harus menjamu kami dengan kata-kata takziah dan semoga tabah menerima cobaan, beralih menerima jamuan dengan perut yang lapang minta diisi. Bahkan masih ada yang nyeletuk tentang berbatang-batang rokok. Kakak langsung menanggapinya dengan buru-buru berhutang dua slop rokok murah di warung Eda Marwah.

Saya ingin berontak. Saya ingin memaki-maki. Apalagi kasak-kusuk semakin santer tentang acara makan-makan di hari ketiga meninggalnya ayah. Oh, rasanya kepala ini hampir meledak.

Memang banyak bantuan dari kaum famili dan tetangga untuk biaya gono-gini. Tapi sebatas apa bantuan biaya, karena yang menggenapkannya adalah kami, istri dan anak-anak ayah. Buat apa bantuan jasa, karena yang berlelah-lelah membersihkan sisa piring-gelas kotor, menggulung tikar, menyapu remah-remah adalah kami, istri dan anak-anak ayah. Konon siapa yang tahan sampai berlarut malam menunggu semua acara di hari ketiga kelar hingga semua licin bersih seperti semula. Paling kuat mereka bertahan sampai pukul sepuluh malam. Selepas itu pulang.

“Saya tak setuju dengan semua ini,” geram saya. Seluruh anak-anak ayah yang melingkar di meja makan, menatap saya tajam. Ibu yang tahu watak keras saya, hanya terdiam sambil menundukkan kepala.

“Setuju tak setuju, harus dilakukan. Apa kau mau dikucilkan?” Kakak memukul meja. Aku terkesiap. Seharusnya saat-saat begitu kami sedang sibuk beribadah dan mendoakan ayah agar selamat dari siksa kubur. Tapi ini, kami hanya disibukkan segala prosesi. Kami terlalu masyuk dalam percik-percik perdebatan. Saya merasakan kami telah melakukan kesalahan yang besar. Kesalahan yang segera dihentikan. Harus!

“Tapi kita sudah jauh menyimpang. Apa pernah kita khusyuk beribadah dan mendoakan ayah agar selamat dari siksa kubur?”

Semua bungkam. Bunyi derit kursi terdengar halus. Seorang atau beberapa tamu yang melintas di halaman samping rumah, menciptakan bunyi karena kaki-kaki mereka menggeleser di atas batu-batu koral.

“Ini keharusan!”

“Keharusan atau keterpaksaan?”

“Dua-duanya!”

“Kalau merasa terpaksa dan pasti menyiksa, kenapa kita tak menghentikan semua ini?” Terlalu banyak saya berbicara. Berpasang mata itu kembali tajam menyilet saya, kecuali mata ibu. Kepalanya masih tertunduk.

“Apa kau memikirkan biaya?” Kakak mengendurkan tatapannya.

“Bukan!”

“Ya, bukan memikirkan biaya, karena sampai sekarang uangmu belum pernah terpakai untuk segala prosesi. Kami mengerti kondisimu. Sangat mengerti, tapi jangan terlalu keras menyikapi ini. Sudah tradisi. Harap maklum.”

Rapat yang kebetulan digelar setelah makan malam itu, belakangan membuat saya tak lagi banyak berbicara. Saya menjadi penurut. Saya menjadi penonton.

***

Saya melihat tetamu asyik berbincang di atas tikar yang terhampar di halaman. Sesekali mereka tersenyum, bersaling-silang dengan tawa halus. Saya memikirkan bahwa ayah pasti sakit hati.

Saya melihat tetamu khusyuk di atas tikar yang terhampar di dalam rumah. Khusyuk melihat merk sigaret di dalam gelas. Sibuk melirik dari sela tirai pintu yang menghubungkan ruang tengah dan dapur. Kira-kira makanan apa yang dihidangkan. Mungkin itu yang mencampuri kekhusyukan mereka.

Saya semakin panas ketika ibu-ibu sibuk di dapur saat tetamu laki-laki berhamburan ke rumah masing-masing, mengantongi sigaret tiga-empat batang.

Ini untuk si anu. Bungkusan ini untuk si itu. Jangan lupa, banyakkan untuk si anu, ada tujuh orang di rumahnya. Begitu kira-kira kerepotan mulut ibu-ibu menceracau. Dan saya hanya bisa diam.

Saya tak lagi memprotes. Saya hanya bisa mengikuti tradisi dengan hati ngedumel, tak berdaya. (*)

 


 
Label: 0 komentar |