Jika sebuah tulisan dapat memasukkan seorang ke dalam surga, maka tak bakal secuil pun aku merasa iri pada hal tersebut. Jika sebuah tulisan dapat meringankan laknat seorang pendosa, maka tak bakal sekata pun kuucap sebagai protes kepada Tuhan. Namun, jika tulisan belum cukup untuk mengentas seorang ahli neraka ke surga, tak setimpal untuk meringankan laknat seorang pendosa, maka, benar-benar aku bakal memohon hingga payah bibirku memohon, agar Tuhan memasukkan Finna ke surga-Nya.
Sungguh, tak sedetik pun terbesit di pikirku jika Finna akan mati begitu sia-sia. Begitu hina. Seorang yang begitu dan melulu dipuji siapa saja yang mengenalnya, seorang yang selalu membikin orang di sekitarnya iri akan segala yang ada padanya, seorang yang bahkan sudah bisa melihat masa depannya begitu cemerlang, lantas menghabisi nyawanya sendiri juga benih bayi haram dalam perutnya. Siapa sangka?
***
1 Desember sebelas tahun silam,
Aku disergap kegembiraan yang amat. Besok ulang tahunku. Tapi bukan ulang tahun yang menggembirakan hatiku. Ada yang mengatakan Finna hamil dengan teman sepenulisnya. Berita sudah menyebar. Namanya akan hancur. Ia akan dihujat manusia seantero kampus. Besok pagi ia tak bakal lagi duduk di sampingku di kelas Linguistik. Besok aku bakal jadi nomor satu di kelas Linguistik. Aku senang tak alang kepalang. Siapa sangka orang sesantun, secerdas, dan sehebat Finna juga bisa khilaf begitu. Besok manusia seantero kampus akan menggunjing moral busuknya. Aku tak sabar ingin besok. Besok, akan ada puluhan mahasiswa memporak-porandakan ruang BEM. Ketua BEM berlaku terkutuk, turunkan saja! Besok, aku yang bakal memimpin puluhan mahasiswa tersebut. Ah, kenapa tak kunjung besok?
Tapi kan dia temanku? Siapa peduli!
Esok harinya,
Di lorong gedung T4 Bahasa Inggris,
Tak kusangka Finna berani berangkat ke kampus. Ia sapa semua manusia seantero kampus. Tak mau peduli yang didapat hanya tatap bengis dan jijik. Finna menebar senyum ke semua manusia seantero kampus. Mengais empati. Mengemis! Seorang Finna, mengemis! Ajaibnya! Aku memandangnya serupa Finna itu wanita pincang memohon uang lima ratus perak. Merangkak ke sana ke mari. Tak ada yang memberi. Tak ada yang mengasihi. Betapa dua hari lalu pemandangan adalah serba kebalikan. Dua hari lalu, baik mahasiswa kawakan atau yang baru, semua pasang muka ramah. Pasang senyum cantik. Menawari ini. Menawari itu. Syukur-syukur dilirik Finna. Betapa beruntungnya jika jadi teman Finna. Setiap hari bisa nebeng tenar. Betapa enaknya kecipratan tenar seorang penulis muda kenamaan. Aku memandang serupa seantero kampus adalah manusia pincang yang mengharap kasih seorang Finna. Merangkak mengekor di punggung Finna. Ke sana ke sini serupa menghamba. Siapa sangka dunia bakal membalik hari ini? Lagi, aku gembira sangat. Tapi kan dia yang paling berjasa padaku? Siapa peduli!
“Rilnia...” ucapnya takut-takut melirikku lantas secepat kilat menunduk. Melirikku lagi. Menunduk lagi. Aku bisu.
“Rilnia...” ucapnya takut-takut melirikku lantas secepat kilat menunduk dan meremas-remas ujung jilbabnya. Melirikku. Menunduk. Melirik. Menunduk. Aku bisu.
“Kau masih temanku kan?” betapa aku merasa kastaku naik dua ratus tingkat disembah begitu. Oleh manusia yang pernah dipuji ribuan manusia lain. Dalam tubuhnya memuat ribuan pujian. Dan sekarang tubuh itu memelas, mengharap kasih seorang “aku”. Betapa besar diriku hari ini!
“Pendosa!” tatapku menghujam. Bolehlah dua hari lalu aku sepatu butut sedang ia tokoh kenamaan yang mengangkat derajatku dengan mengenakan “aku”. Aku yang sedetik pun tak dihiraukan oleh manusia seantero kampus tiba-tiba masuk hitungan. Aku mulai dilirik. Mulai dibicarakan. Mulai dipanggil! Tapi betapa aku gembira sangat bercampur dengan dendam yang juga sangat. Tak seorang pun tahu namaku, lebih tepatnya tak mau tahu siapa namaku. Mereka lebih senang menyebutku temannya Finna. Betapa tiap detik aku memeram dendam kesumat. Mengaharap aku bertukar hidup dengannya. Dia sepatu butut. Aku tokoh kenamaan. Atau, aku tak pernah dapat kesempatan mengenalnya! Berteman dengannya, tak perlu! Bikin hati nyut-nyut saja!
“Wanita jalang!” aku terbang tinggi sekali saat hujat itu meluncur cantik dari bibirku. Rasakan!
“Pendosa!” lagi. Lagi. Lagi. Ingin kuhujat ia seribu lagi. Sejuta lagi, bahkan lebih! Rasakan! Rasakan! Rasakan! Rasakan!
***
Oktober sebelas tahun silam,
Yang bapakku tahu, aku gadis cerdasnya. Kuliah dibayar pemerintah. Juara satu dari SD sampai SMA. Semua guru SD sampai SMA mengenal anak gadisnya. Hafal benar nama anak gadisnya adalah Rilnia Metha Sofyan. Anak gadisnya itu cerdas bukan buatan. Yang bapakku tidak tahu, aku kuliah di PTN kumpulan anak-anak cerdas jadi satu. Aku cerdas. Teman-temanku juga cerdas. Nilaiku bagus-bagus. Nilai temanku bagus-bagus. Yang lebih bapakku tidak tahu, aku bukan lagi nomor satu. Nomor satu adalah milik Finna. Selama-lamanya. Selama-lamanya, selalu, melulu, adalah milik Finna. Benar-benar aku tak kan pernah jadi nomor satu. Sedang yang aku tidak tahu, bapakku, karena saking senangnya aku dapat beasiswa, berkisah pada tetangga. Alkisah aku adalah jawara di kampus. Alkisah, aku seorang mahasiswi kenamaan. Dikenal karena saking pintarnya. Disegani manusia seantero kampus, baik mahasiswa, dosen, maupun tukang kebun. Suatu hari, waktu bapakku itu ada urusan di kota bersama kawannya, ia tandang ke kampusku.
“Anakku itu pintarnya bukan buatan, Wan,” bapakku berbangga. Orang yang diajaknya bicara itu nampak terkesan.
“Dulu tiap rapotan aku selalu dipanggil ke panggung untuk menemaninya menerima hadiah”, bapakku kian bangga. Iwan, teman bapakku itu, kian kagum pula. Kagum bukan buatan.
Sampai di kampus, bapak mencari Fakultasku. Sampai di fakultas, bapak mencari jurusanku. Ditanyai tiap muda-mudi di sana.
“Mas, kalau boleh tahu Rilnia di mana ya?” muda-mudi yang ditanyai tersentak. Memangnya siapa juga Rilnia. Apa untungnya kenal Rilnia. Buat apa tahu Rilnia di mana, sedang apa.
“Maaf, kami gak kenal Rilnia, Pak.”
“Rilnia yang pintar itu lho, yang kuliahnya gratis dibayar pak mentri itu, masak gak kenal?”
“Maaf ya Pak sebelumnya, saya juga pintar, juga dibayar pemerintah! Juga gak kenal siapa itu Rilnia!”
Bapakku tercengang. Temannya menepuk-nepuk pundaknya.
“Barangkali itu bukan mahasiswa sini, Wan.” Bapak tak mau kalah. Dihampirinya seorang dosen yang tengah membaca pengumuman di mading.
“Permisi Bu, ibu kenal tidak sama Rilnia Metha Sofyan?”
“Oh, maaf sekali Pak, bukannya apa-apa, tapi mahasiswa saya itu banyak sekali Pak. Lupa juga saya nama-nama mereka.” Si dosen mengulum senyum seramah mungkin.
Bapakku tercengang. Temannya menepuk-nepuk pundaknya. Tapi belum dirasanya dirinya kalah. Dihampiri pula dua gadis dekat perpustakaan.
“Maaf, mbak ini kenal gak sama Rilnia?”
“Rilnia? Siapa ya Pak?”
“Rilnia Metha Sofyan, Mbak”
“Oh, temannya Finna itu ya Pak?”
“Finna? Siapa itu Finna?”
“Finna itu mahasiswa paling pintar di sini, Pak.”
“Bukannya Rilnia juga pintar, Mbak?”
“Rilnia sih kalah jauh sama Finna Pak, Finna itu terkenal, semua Mahasiswa dan dosen di sini mengenal Finna karena saking pintarnya, Rilnia sih cuma temannya anak yang super pintar.”
Kalah. Tak dapat terpungkir lagi bapakku tengah kalah. Dibiarkannya temannya itu menepuk-nepuk pundaknya.
Yang baik aku dan bapakku tahu, kami saling sayang. Sejak kutahu kisah itu, kukutuk Finna yang sengaja atau tidak-aku tak peduli-telah memilukan hati bapak. Siapa juga yang peduli Finna adalah teman. Siapa peduli jasanya? Aku bahkan lebih peduli petakanya. Gadis terkutuk.
***
2 Desember sebelas tahun silam,
Sekitar pukul empat sore, kampus gempar. Mahasiswa berhamburan keluar kelas. Tak pedulikan dosen. Tak pedulikan presentasi. Tak pedulikan pacar sedang manja-manjanya. Tak peduli juga belum bayar jajan di Kopma. Kampus gempar. Semua berhamburan keluar. Seorang gadis barusan menjerit. Disusul jeritan manusia yang lain. Riuh. Gempar. Ada yang lompat dari lantai lima! Ada yang bunuh diri! Mati! Dia sudah mati! Darahnya banyak sekali! Kepalanya pecah menghantam paving! Lihat, tasnya berantakan! Itu kan tasnya si Finna! Ada sekotak kado biru juga!
Baru setelah ada yang mengucap “ada sekotak kado biru juga” aku lari menerobos riuhan manusia. Perasaanku tak menentu. Sedetik aku bahagia. Sedetik aku takut. Sedetik aku sedih. Sedetik aku kosong. Bahagia. Takut. Sedih. Kosong. Kosong! Kosong! Kosong!
“Kau itu suka warna apa Nia?”
“Dari dulu aku kan suka biru, kamu gimana sih Fin, ah, masa gak tahu warna favoritku?”
Aku disergap bahagia. Disergap takut. Disergap sedih. Disergap kosong. Pening! Pening sekali kepalaku. Bukan. Bukan karena anyir darah menyeruak menusuk-nusuk hidung. Bukan. Bukan karena mual melihat seisi kepalanya merekah meleleh mengaliri sela-sela paving. Peningku memuncak membaca tulisan di bungkus kado itu.
“Selamat ulang tahun, sahabatku, Rilnia... Luph U ^_^”
***
Jika sebuah tulisan dapat memasukkan seorang ke dalam surga, maka tak bakal secuil pun aku merasa iri pada hal tersebut. Jika sebuah tulisan dapat meringankan laknat seorang pendosa, maka tak bakal sekata pun kuucap sebagai protes kepada Tuhan. Namun, jika tulisan belum cukup untuk mengentas seorang ahli neraka ke surga, tak setimpal untuk meringankan laknat seorang pendosa, maka, benar-benar aku bakal memohon hingga payah bibirku memohon, agar Tuhan memasukkan Finna ke surga-Nya.
Sungguh, tak sedetik pun terbesit di pikirku jika Finna akan mati begitu sia-sia. Begitu hina. Seorang yang tiap detik mengabdikan dirinya pada pena, seorang yang selalu disukai banyak orang lantaran tulisannya sarat ilmu dan hikmah, seorang yang selalu dan melulu dicap ahli surga lantaran menginsyafkan orang lain dengan semua tulisan-tulisannya, lantas, merobek-robek sendiri tiket ke surganya dengan bunuh diri. Siapa sangka?
Aku duduk di bangku yang sama setiap jam empat sore, setiap harinya. Di bangku di mana sebelas tahun lalu aku selalu dan melulu dilatih menulis oleh Finna.
“Kau itu pintar Nia. Sia-sia sekali kalau cuma kau sendiri yang menikmatinya. Tulislah apa saja agar pintarmu itu bisa dinikmati yang lain. Jangan egois begitu....”
Aku duduk di bangku yang sama setiap jam empat sore, setiap harinya. Di bangku di mana sebelas tahun lamanya aku selalu dan melulu memimpikan hal yang sama. Begitu juga dengan sekarang, aku tak lagi kaget begitu melihat api berkobar menjilat tubuh Finna, juga tubuhku. Aku segera sadar bahwa hari ini aku juga sedang bermimpi. Sepertinya juga yang kemarin. Kemarinnya lagi. Kemarinnya lagi, dan lagi. Jalan cerita mimpi itu pun sama. Mula-mula aku dan Finna sama-sama dimakan api. Berjuta tahun kemudian, malaikat menjemputku. Dibilangnya tebusan dosaku sudah lunas, saatnya aku dimasukkan ke surga. Saat aku melewati tempat Finna, kutanya malaikat mengapa Finna tak dipergikan bersamaku. Tak ada surga untuk manusia yang menyia-nyiakan hidupnya, jawabnya. Hatiku gatal, juga nyeri.
Bolehkah aku menengoknya barang semenit?
Silakan.
Aku menghampiri Finna, dia sedang dimakan api. Tubuhnya menari dalam laut api, bibirnya mengulum senyum, matanya juga teduh. Aku tak paham. Ia menatapku dan mengucap,
Tulisan memang tak cukup untuk membuat aku masuk surga. Setidaknya neraka telah dibuat beku olehnya, dan aku senang...
Penulis: Siti Nur Banin/ Majalah Annida