Ayah akhirnya melepaskan derita yang hampir dua setengah tahun
seolah menghukumnya di atas lapik tipis itu. Saya sempat melihat bokong ayah
seperti borok. Hati saya trenyuh. Apalagi dua hari sebelum menyerahkan nyawa
kepada Penguasa Jagat---dalam komanya---sempat dia menatap saya sejenak, seolah
mengatakan selamat datang dan selamat tinggal, Nak. Kau telah tiba dari rantau
orang.
Selepas azan Ashar, tiba-tiba nafas ayah berat dan terhenti dua
kali. Pada hitungan ketiga, dia berhasil melepaskan hasrat keduniawiannya.
Meninggalkan kesukaan, juga berbagai sengkarut hidup yang sangat sulit
ditaklukkan.
Kami sekeluarga meneteskan air mata. Hanya sedikit. Bukan karena
rasa sedih yang kurang. Hati kami sebenarnya melarat, tapi kami tak ingin hati
yang melarat ini terbit di mata sebagai bah, terbit di mulut menjadi ratap.
Kami tak mau dia menghadap Allah dengan hati penuh beban.
Di sini kukabarkan, ayah adalah pemaham yang taat terhadap
organisasi keagamaan yang dipertahankannya sejak dulu hingga kematian mencabiknya.
Begitupun dia tak ingin menerapkan tangan besi kepada kami, anak-anaknya,
termasuk kepada istrinya sendiri. Dia membebaskan kami memilih cara menerapkan
ibadah masing-masing, asal iman kami tetap Islam.
Dan saya salut terhadap keterikatannya terhadap organisasi yang
sangat minim di daerah kami. Konon dari tahun demi tahun, organisasi keagamaan
itu tetap terkucil. Bahkan kaum organisasi keagamaan lain dan yang lebih besar,
sekali-sekali mengolok, seolah merasa lebih benar agamanya. Padahal bukankah dua-duanya
Islam? Terus-terang saya merasa sepaham dengan organisasi keagaamaan tempat
ayah bernaung. Sekadar sepaham!
Hujan rintik-rintik seolah mengucapkan kalimat turut berduka
cita. Hujan juga mempercepat senja menjadi kelam. Kami anak-beranak mulai sibuk
merencanakan prosesi pemakaman ayah, serta apa-apa saja yang melengkapi dari
itu. Kemudian seorang lelaki yang lebih tua sekira sepuluh tahun dariku,
mencoba menyela kesibukan kami, yang jujur saja masih dengan hati meratap.
Kumis orang itu bergerak-gerak lucu. Tapi kami tak ingin
tersenyum untuk hal lucu pada waktu yang tak tepat. Dia membisikkan sesuatu
kepada kakak tertua saya. Mereka menyepi di dekat pintu belakang rumah. Sengaja
saya menyusul, tak ingin tertinggal perbincangan. Bagaimanapun saya adalah anak
laki-laki tertua dalam keluarga, berhak lebih tahu, dan memiliki kekuatan
memutuskan perkara.
“Apakah kalian sudah mempersiapkan segalanya?” Dia bertanya
serius. Dia melirik ke kiri dan ke kanan seolah ingin mengatakan yang sangat
rahasia.
“Sudah! Mengenai kain kafan telah disiapkan emak jauh-jauh hari.
Orang yang menjadi pemandu memandikan mayit, juga telah bersedia membantu.
Tempat penguburan sama sekali tak ada masalah.” Kakak seperti buru-buru
meninggalkan lelaki itu. Masa berkabung terkadang membuat orang pelit
berbincang.
“Bukan itu yang saya maksudkan. Saya ingin menanyakan apakah
lauk-pauk dan nasi sudah disiapkan? Apakah bahan-bahannya sudah ada?” Lelaki
itu terdiam sejenak. Hati saya seolah tertusuk jarum. Saya hampir memaki lelaki
itu. Sudah tahu kami sedang kesusahan, dia malahan memberikan usul yang
tidak-tidak. Tapi kakak tak ingin memprotes. Dia hanya mematung.
“Maksudnya?” Saya tak ingin menjadi pendengar saja. Lelaki itu
menoleh seolah menganggap saya tak ada. Saya orang perantau yang hampir enam
tahun meninggalkan kampung halaman. Hanya setiap lebaran saya pulang. Mungkin
itu penyebab dia memandang saya sebelah mata, apalagi mendengar pertanyaan saya
yang bernada tak menyenangkan.
“Maksudnya bukan untuk pelayat-pelayat yang berasal dari kampung
kita. Tapi bagi tetamu dari tempat-tempat jauh. Kan tak enak membiarkan mereka
kelaparan di sini. Bukan untuk kami-kami di sini.” Dia seolah membela diri.
Tapi saya tak ingin tenggelam dalam rayuannya.
Seharusnya dia hadir untuk membantu kelancaran prosesi pemakanan
ayah. Bukan membuat kening kami berkerut. Karena seluruh anak ayah, tak ada
yang bisa dikatakan berpunya. Hanya kakak sulung saya sedikit lebih sejahtera.
Kakak nomor dua pengangguran. Adik laki-laki saya belum tetap pekerjaannya. Sedangkan
saya, apa? Pulang ke kampung saja dengan kondisi mendadak, harus berjibaku
meminjam uang ke beberapa teman untuk ongkos transportasi, juga bekal di
perjalanan dan di kampung.
Kakak tak ingin membuat lelaki itu menjadi pemberita, bila kami
tak menuruti sarannya. Kalau sampai berita menyebar dari mulutnya yang memang
runcing, alamat tertatih-tatih kami melaksanakan prosesi pemakaman ayah. Siapa
yang kelak mau memanggul keranda ayah kalau bukan orang-orangnya lelaki itu?
“Bagaimana caranya, abanglah yang mengurusnya.” Akhirnya keluar
juga jawaban itu dari mulut kakak. Lelaki itu tersenyum. Gerakan kumisnya
semakin lucu. “Berapa kira-kira habisnya?” Maksud kakak berapa kira-kira biaya
keseluruhannya.
“Mungkin butuh tiga kilogram daging sapi, lima ekor ayam,
setengah karung beras, bumbu-bumbu, minyak tanah. Cukuplah sembilan ratus lima
puluh ribu. Tapi untuk biaya tak terduga, cukupkan saja satu juta.”
Kakak mengangguk berat. Setelah lelaki itu pergi dengan senyum
penuh kemenangan, saya menarik tangan kakak ke kamar tidur. Saya mengatakan tak
setuju bermewah-mewah dengan bertanak segala macam begitu. Masih banyak
keperluan lain, misalnya membayar utang-utang ayah. Hanya saja kakak tetap
takut prosesi pemakaman ayah akan dikucilkan warga sekitar yang mayoritas
berseberangan organisasi dengan ayah. Kakak akan mempergunakan sementara uang
tabungannya. Bila pun kelak kurang, dia bisa meminjam kepada Om Sabarudin. Dia
camat di daerah kami
“Tapi Om Sabarudin sombong, Kak!”
“Biarlah!”
Akhirnya bertanak-tanak memuakkan itu
terjadi juga. Saya merasa tak enak hati. Seandainya ayah melihat kondisi yang
terjadi, dia pasti marah besar. Dia yang tak pernah mempergunakan tangan besi,
bisa-bisa mempergunakan tangan titanium sekalian biar lebih keras. Ayah mungkin
akan sakit hati di alam sana.
Entah karena ayah ikut campur-tangan
masalah bertanak-tanak, atau memang sudah kebiasaan bila setiap ada yang
meninggal di suatu rumah, tiba-tiba sekuali besar gulai ayam, basi hanya dalam
hitungan sekira lima jam. Saya yang tak sengaja menyenduknya di pagi berkabut,
meneriakkan gulai ayam telah basi. Padahal malam harinya gulai ayam itu telah
dipanaskan tiga-empat kali.
Sebenarnya selain itu,
bertambah-tambah juga kejadian yang pasti membuat ayah sangat kesal. Setelah
ayah dikebumikan, selepas isya, tikar dibentang di halaman depan dan samping
rumah. Beberapa ibu sibuk menyiapkan gelas dan piring kecil. Kakak seperti
gasing memutar ke sana-ke mari. Isi kepalanya barangkali ikut bergasing. Dia
baru pulang dari pasar menjelang maghrib. Dia membawa aneka paganan berupa
kue-kue. Kue-kue itulah pengisi piring kecil. Gelas-gelas sengaja dikosongkan.
Dua buah ceret, yang satu berisi air kopi manis, dan satunya lagi berisi air
teh manis, kelak selesai acara diedarkan. Gelas-gelas yang kosong akan diisi
air dari ceret sesuai keinginan tetamu yang menjadi peserta acara itu.
Hati ini semakin tersayat. Seharusnya
kami sekeluarga masih dalam kondisi berkabung dan harus istirahat. Namun demi
tak terkucil, kami mengikuti tradisi yang sudah sangat dimaklumi di tengah
masyarakat kami.
Kami seperti mengadakan pesta atas
kematian ayah. Kami seolah mensyukuri dirinya telah tiada. Orang-orang yang
harus menjamu kami dengan kata-kata takziah dan semoga tabah menerima cobaan,
beralih menerima jamuan dengan perut yang lapang minta diisi. Bahkan masih ada
yang nyeletuk tentang berbatang-batang rokok. Kakak langsung menanggapinya
dengan buru-buru berhutang dua slop rokok murah di warung Eda Marwah.
Saya ingin berontak. Saya ingin
memaki-maki. Apalagi kasak-kusuk semakin santer tentang acara makan-makan di
hari ketiga meninggalnya ayah. Oh, rasanya kepala ini hampir meledak.
Memang banyak bantuan dari kaum
famili dan tetangga untuk biaya gono-gini. Tapi sebatas apa bantuan biaya,
karena yang menggenapkannya adalah kami, istri dan anak-anak ayah. Buat apa
bantuan jasa, karena yang berlelah-lelah membersihkan sisa piring-gelas kotor,
menggulung tikar, menyapu remah-remah adalah kami, istri dan anak-anak ayah.
Konon siapa yang tahan sampai berlarut malam menunggu semua acara di hari
ketiga kelar hingga semua licin bersih seperti semula. Paling kuat mereka
bertahan sampai pukul sepuluh malam. Selepas itu pulang.
“Saya tak setuju dengan semua ini,”
geram saya. Seluruh anak-anak ayah yang melingkar di meja makan, menatap saya
tajam. Ibu yang tahu watak keras saya, hanya terdiam sambil menundukkan kepala.
“Setuju tak setuju, harus dilakukan.
Apa kau mau dikucilkan?” Kakak memukul meja. Aku terkesiap. Seharusnya
saat-saat begitu kami sedang sibuk beribadah dan mendoakan ayah agar selamat
dari siksa kubur. Tapi ini, kami hanya disibukkan segala prosesi. Kami terlalu
masyuk dalam percik-percik perdebatan. Saya merasakan kami telah melakukan
kesalahan yang besar. Kesalahan yang segera dihentikan. Harus!
“Tapi kita sudah jauh menyimpang. Apa
pernah kita khusyuk beribadah dan mendoakan ayah agar selamat dari siksa
kubur?”
Semua bungkam. Bunyi derit kursi
terdengar halus. Seorang atau beberapa tamu yang melintas di halaman samping
rumah, menciptakan bunyi karena kaki-kaki mereka menggeleser di atas batu-batu
koral.
“Ini keharusan!”
“Keharusan atau keterpaksaan?”
“Dua-duanya!”
“Kalau merasa terpaksa dan pasti
menyiksa, kenapa kita tak menghentikan semua ini?” Terlalu banyak saya
berbicara. Berpasang mata itu kembali tajam menyilet saya, kecuali mata ibu.
Kepalanya masih tertunduk.
“Apa kau memikirkan biaya?” Kakak mengendurkan
tatapannya.
“Bukan!”
“Ya, bukan memikirkan biaya, karena
sampai sekarang uangmu belum pernah terpakai untuk segala prosesi. Kami
mengerti kondisimu. Sangat mengerti, tapi jangan terlalu keras menyikapi ini.
Sudah tradisi. Harap maklum.”
Rapat yang kebetulan digelar setelah
makan malam itu, belakangan membuat saya tak lagi banyak berbicara. Saya
menjadi penurut. Saya menjadi penonton.
***
Saya melihat tetamu asyik berbincang
di atas tikar yang terhampar di halaman. Sesekali mereka tersenyum, bersaling-silang
dengan tawa halus. Saya memikirkan bahwa ayah pasti sakit hati.
Saya melihat tetamu khusyuk di atas
tikar yang terhampar di dalam rumah. Khusyuk melihat merk sigaret di dalam
gelas. Sibuk melirik dari sela tirai pintu yang menghubungkan ruang tengah dan
dapur. Kira-kira makanan apa yang dihidangkan. Mungkin itu yang mencampuri
kekhusyukan mereka.
Saya semakin panas ketika ibu-ibu
sibuk di dapur saat tetamu laki-laki berhamburan ke rumah masing-masing,
mengantongi sigaret tiga-empat batang.
Ini untuk si anu. Bungkusan ini untuk
si itu. Jangan lupa, banyakkan untuk si anu, ada tujuh orang di rumahnya.
Begitu kira-kira kerepotan mulut ibu-ibu menceracau. Dan saya hanya bisa diam.
Saya tak lagi memprotes. Saya hanya
bisa mengikuti tradisi dengan hati ngedumel, tak berdaya. (*)
Posting Komentar