fnc muslimah

Cela, cemooh, caci bersaudara selalu membuatnya hipertensi. Akan tetapi ia pun tak dapat bereaksi. Membuka mulut membalas hanya membuatnya dehidrasi. Biarlah ia menjauh dari peradaban bagai orang terekstradisi. Menyeruput nikmat kesendirian bak orang terkontaminasi.


“Kau perlu konsultasi,” ujar seorang kawan memberi rekomendasi.

“Kau hanya butuh motivasi,” timpal yang lain merevisi.

“Menurutku kau butuh rekreasi,” tukas seorang lain berpersuasi.

Tawaran terakhir ia sanggupi lantas masuk ke taksi. Melewati jalanan dengan rindang pepohonan usai reboisasi cukup memberinya sebuah sensasi. Hati dan pikirannya yang sempat kacau telah terreparasi. Goyah langkahnya usai sudah direnovasi. Rekreasi memberinya amunisi baru ibarat nasi bersambal terasi.

Semangatnya membara bagai baterai kosong yang usai terisi. Dalam semangat frekuensi tinggi, ia kembali beraksi. Berakselerasi, eksplorasi dan mengeksploitasi kemampuan yang diangugerahkan Tuhan tanpa materialisasi.

“Sesuatu akan indah pada waktunya.” Sebuah notifikasi dari seorang teman yang terkesan memberi garansi.

“Tak ada penggalan kalimat lain?” tanyanya sensi. Ia telanjur dibekap rasa tak percaya diri dan mungkin mulai tak percaya pada Tuhan karena imannya mengalami erosi.

“Percayalah, rejeki sudah diatur.” Lagi-lagi penggalan kalimat basi.

“Bagaimana kalau Tuhan mengatur aku tak mendapat rejeki?” tanyanya bertambah sensi.

“Tuhan punya seribu satu cara untuk mengantar rejekinya padamu,” jawab temannya dengan kepastian ekspresi.

Ia kembali mengalami transisi. Semangatnya pulih kembali usai melakukan refleksi. Berdasar berinstuisi, ia putuskan pindah jalur menjadi penulis fiksi. Ia percaya menulis bisa dijadikan profesi. Menulis novel, cerpen serta puisi.

Hari-harinya kini disibukkan dengan mencari inpirasi. Mereka-reka fantasi. Menjemput imajinasi demi sebuah karya fiksi. Ia menulis dengan visi misi. Karya-karyanya mengandung tendensi. Pula ia mengharamkan plagiasi. Entah mengapa karyanya belum juga dilirik redaksi.

Dunianya kini seolah tak lagi berotasi. Ruangnya tak lagi berventilasi. Kesedihannya telah terakumulasi. Kecewanya menjadi kompilasi. Terlalu sombong jika ia tak menangisi tragedi hidupnya yang berpita tragis dan berenda dramatisasi. Kemarin ia ditertawakan karena menolak tawaran ekstasi. Ah, ia hanya ingin merasai frustasinya dengan determinansi.

Ia telah frustasi. Dalam benaknya tak ada harapan yang mengisi. Bahkan ia mulai tak doyan nasi. Dari hari ke hari badannya kian terkorosi. Tak tampak lagi otot-otot besi.
Hanya ada wajah pasi yang menengadah ke langit malam memandang rasi bintang dengan sejuta ekspresi. Lantas ia mendadak menemu inspirasi. Mulailah ia menyusun narasi kisah semi fiksi tentang dirinya sendiri dengan dramatisasi di segala sisi.

Harapannya berangsur-anggsur kembali, bahkan dalam dua kali lipat porsi. Ah, akhirnya ia menyadari sebuah esensi. Bahwa hidup akan selalu diwarnai rentetan masalah yang seolah berkolaborasi. Itulah tendensi hidup yang akan membawa manusia menuju transisi pribadi yang lebih berkualiti. Sementara orang yang tak bermasalah hanyalah orang mati yang sudah saatnya dikremasi.***



*Lara Ahmad adalah nama pena dari Endang Sri Sulistiya. Menuntut Ilmu Administrasi di Universitas Sebelas Maret Surakarta. Cerpennya beberapa kali dimuat di Solopos, Annida Online dan Serambi Indonesia. Buku-buku antologinya telah diterbitkan oleh berbagai penerbit indie.

Label:
0 Responses

Posting Komentar