Mbok Ratmi terlihat lunglai di sisi makam yang baru usai dirapikan. Mendiang Rini adalah bungsu yang mewarisi sifat-sifat Mbok Ratmi; pendiam, tak banyak tingkah dan begitu polos. Sementara Rita mendekapnya dari samping dan sesekali masih terguncang isak. Si sulung yang perangainya bertolak belakang dengan adiknya. Banyak bicara dan begitu keras. Sayangnya mereka sama-sama tak pernah mau mempercayaiku. Andai saja mereka mau percaya saat itu…
“Aku rasa Mas Ovi tak benar-benar mencintaimu, Ta.”
“Heh! Kamu itu cuma debu di sini. Cuma nempel. Jangan urusi yang bukan urusanmu. Lalu apa tadi? Oo, rupanya diam-diam kau cemburu padaku ya?!”
Terseok kuseret langkah. Saat sedih menyelinap seperti ini, aku jadi teringat Ibu. Terutama tatap matanya saat polisi menyeretnya keluar dari ruang sidang dengan status terhukum. Mata itu seperti menyimpan banyak luka yang ingin disimpannya sendiri tanpa ingin berbagi dengan siapapun. Begitulah ibuku. Aku baru sadar bahwa hatinya telah banyak luka saat aku lima belas, usia di mana aku mulai belajar tentang pahit getir hidup.
“Kenapa Ibu tak ikut Romo saja, pulang ke rumahnya?” saat itu usiaku sepuluh, lelaki itu sudah jarang menampakkan muka.
“Apa ibumu ini tak cukup buatmu, Ras?” jawab Ibu.
Kenyataan bahwa pernikahan Ibu tak beroleh restu dari keluarga besar Romo kudapat dari Mbok Ratmi, perempuan paruh baya yang setia melayani Ibu sejak awal pernikahan hingga sekarang. Kata Mbok Ratmi, Romo seorang darah biru, garis keturunan ningrat. Sedang Ibu? Ketakjelasan latar belakang Ibu sepertinya juga menyumbang kebencian keluarga Romo terhadap kami.
Dengan bantuan Mbok Ratmi aku pernah sekali berkunjung ke rumah Romo. Tapi mereka menolakku. Mereka bilang Romo tak pernah punya anak bernama Larasati. Anak Romo hanya satu, Dewi Puspa Arum, yang baru empat tahun. Bahkan hingga kedatanganku yang kedua. Itu luka teramat nganga dalam hatiku. Dan luka itu semakin nganga saat kepulanganku bersambut murka Ibu.
“Apa ibumu ini tak cukup buatmu, Ras?! Apa kau masih kekurangan kasih sayang?!”
Akhirnya kuterima luka itu dan menyimpannya dalam sunyi. Kalau Ibu bisa berbagi luka dengan sunyi, kenapa aku tak?
Entah bagaimana cara Ibu mengubah lukanya itu menjadi kekuatan. Saat jatah bulanan yang masih diberikan Romo tak lagi mencukupi biaya pendidikanku di sebuah sekolah kejuruan, akhirnya Ibu memutuskan mencari uang sendiri. Pertemuan dengan seorang teman masa SMP akhirnya membantu Ibu menjadi seorang pengecer kain batik.
“Juragan batik, Bu?”
“Dulu Ibu pernah menjadi karyawan orang tuanya selama satu tahun.,” wajah Ibu sumringah saat cerita. Sejak kehadiran Pak Hendra, aku memang tak pernah lagi melihat wajah sendu Ibu.
Tapi itu tak lama. Begitu Romo memergoki kehadiran Pak Hendra, badai malah semakin menjadi-jadi…
“Aku selingkuh?! Mas lah yang sudah selingkuh! Apa Mas pikir jatah yang Mas berikan selama ini bisa membuatku menumpuk perhiasan?! Apa Mas juga memikirkan pendidikan Laras?! Dia juga butuh sekolah, Mas! Mas cuma memikirkan istri muda Mas!”
“Baik, besok akan kutambah jatahmu dua kali lipat. Akan kutanggung juga semua biaya sekolah Laras. Aku ingin lihat apa kau bisa menjauhi lelaki itu!”
“Bukankah seharusnya sejak dulu Mas melakukan itu?! Bukankah itu janji Mas sewaktu menjeratku dulu?! Mas cuma seorang pencemburu!”
Plakk! Perang mulut itu berakhir dengan kemenangan Romo.
Tapi tidak. Ternyata Romo juga seorang yang kalah. Lelaki itu pernah sekali menangis di hadapanku.
“Maafkan Romo, Ras. Sebenarnya Romo tak menginginkan semuanya jadi seperti ini. Romo tak bisa melawan keinginan keluarga Romo sendiri. Aku harap Laras bisa mengerti keadaan Romo.”
Yah, aku mulai mengerti keadaan Romo. Beliau adalah pengecut yang takut kehilangan status ningratnya!
* * *
Sesampainya di rumah Mbok Ratmi segera kuhempaskan tubuh penatku ke pembaringan. Seberapapun usaha kutidurkan pikiran, selalu saja ada yang mengganjal dalam kepala. Setelah tragedi dua tahun silam itu Mbok Ratmi memboyongku ke rumahnya di kampung.
Rumah tua di Laweyan diambil penuh oleh keluarga Romo tanpa menyisakan secuil warisan untukku. Satu-satunya hal yang tersisa dan telah menjadi mimpi buruk abadiku adalah perihal kebohongan itu. Tatap mata Ibu saat mengucap kebohongan dengan maksud membelaku di hadapan pengadilan. Selalu membuatku tersiksa dan membuatku ingin mengatakan kebenaran dalam keadaan apapun. Andai saja dulu aku sanggup mencegah sandiwara itu, pasti beliau takkan menemui ajal terdera duka dalam tempat busuk itu.
Tapi kebenaran ternyata kadang juga berbuah dilema. Sejak awal-awal mengenal Ovi, sebenarnya aku sudah merasa aroma itu. Pemuda itu selalu mengaku di muka banyak orang bahwa ia memacari Rita, tapi ia juga sering terlihat mendekati Rini secara diam-diam.
Aku adalah gadis yang jarang berinteraksi dengan lelaki. Kaki kiriku yang tak bisa mengimbangi kaki kanan seolah menjadi kutukan sejak lahir. Tapi aku bukannya tak bisa membedakan gelagat kumbang jalang.
“Biarkan aku yang menyapu, Ras,” tiba-tiba Rita menyita pekerjaanku di sore kelabu itu. Sungguh tak biasanya.
Sejak awal kedatangan di rumah ini, aku tahu ada virus kebencian yang meracuni anak-anak Mbok Ratmi. Saat Mbok Ratmi ada, mereka diam. Begitu Mbok Ratmi tak ada, isi hatinya benar-benar nyata.
“Sapu yang bersih! Jangan mentang-mentang kau anak bekas majikan Emak, jangan mentang-mentang kau cacat, lantas kami harus memanjakanmu seperti anak raja. Kau sudah tak punya apa-apa lagi sekarang. Kau bukan siapa-siapa lagi, kau harus sadar itu!”
“Tidak, tidak, biarkan kulakukan kewajibanku seperti biasanya, Ta.”
“Ini bukan karena kau membenciku kan?”
Kami bertemu pandang. Tak kulihat lagi api. Hanya ada bening dan rona kesedihan.
“Ras, kau jangan mengungkit itu lagi, sungguh. Aku benar-benar ingin kau tahu, aku masih punya banyak kebaikan. Kau ingat baju-baju itu? Meski baju bekas, bukan kebaikan yang sempurna, tapi mengenai kejadian itu… aku sungguh tidak sengaja, Ras…” air matanya meleleh. Tatap matanya mengingatkanku pada tatap mata Ibu. Begitu dalam, seolah ingin menyentuh yang paling dalam relungku.
“… Kau benar, Ras. Si bangsat Ovi itu memang seperti apa katamu. Aku menyesal, Ras…. Aku mohon satu hal padamu, kau harus benar-benar adil. Penjahat sesungguhnya adalah si Ovi …”
Apakah itu sebuah usaha untuk memengaruhiku? Yah, mungkin ia sudah bisa menduga tabiatku. Aku, orang yang tak bisa bohong.
Lalu Mbok Ratmi pun datang kepadaku.
“Non harus paham kenapa dulu Bu Reza rela berkorban demi Non Laras. Semua ibu pasti rela melakukan itu. Simbok juga begitu, Non. Sekarang Rita adalah satu-satunya darah daging Simbok …,” menunduk. Bahunya berguncang.
Ah, lagi-lagi penyesalan. Kenapa saat itu Mbok Ratmi tak mau memercayaiku? Sebagai ibu harusnya ia bisa merasakan aura kejahatan dari mata pemuda itu. Kejam sekali rasanya jika hati ini mengatakan ada sakit hati yang terbalas dengan tregedi itu. Padahal penyesalan juga membukit di dadaku. Beliau harusnya sadar, dia sudah kuanggap sebagai pengganti ibu kandungku.
* * *
Hari pertama persidangan. Ovi berjalan lesu ke tempatnya sebagai terdakwa. Bahunya berbalut perban. Berkali ia menoleh ke arahku seolah ingin mengatakan, “Kini nasibku berada di tanganmu.” Keluarga besarnya duduk bergerombol di sisi kiri ruang sidang.
Aku seperti melihat keluarga besar Romo di situ. Wajah-wajah congkak dan penuh aura kebencian. Ibu duduk di kursi terdakwa dengan banyak menunduk. Aku duduk sebagai saksi dengan beban kecamuk perasaan.
Pak Hendra pun sama. Duda beranak satu itu kehilangan rona ceria. Ada sedikit tenteram saat kulihat dia melirik Ibu dengan raut khawatir. Terus terang, dalam hati kecilku aku lebih memilih dia daripada Romo.
Romo terbakar cemburu. Pertengkaran hebat itu terjadi saat Romo menemukan mereka bercakap akrab di ruang tamu. Ternyata Romo memang sudah berencana. Romo berhasil melukai lengan Pak Hendra dengan timah panas. Ibu mencoba mencegah. Pergumulan terjadi. Pistol dan tubuh Ibu terlempar. Tapi Romo belum puas dan lalu mendekati Ibu, menamparnya, menamparnya. Kalimat-kalimat kasar berhamburan. Beruntung Pak Hendra berhasil mendaratkan pukulan ke pipi Romo. Pergumulan dua lelaki itu terjadi. Saat itulah rasa muakku memuncak. Aku keluar dari tempat persembunyian. Kuhampiri pistol itu.
Kalau saja saat itu Pak Hakim menanyakan apakah aku pernah membenci ayahku? pasti kasusnya akan lain. Saat perkelahian itulah kebencianku terhadap Romo memuncak. Sempat terbetik dalam ruang gelap hatiku, Romo tega menduakan Ibu mungkin karena takdirku yang lahir cacat. Dia bisa membuat sarang baru di lain tempat, kenapa dia marah saat Ibu coba merajut kebahagiannya sendiri?
Ternyata begitu mudahnya yang bernama hukum dikelabui. Ibu telah akui perbuatan yang tak pernah dilakoni. Aku histeris. Tapi Ibu malah meneriakiku sebagai pembohong dan terus mengatakan bahwa dialah pelakunya. Saat Ibu memegang pistol itu, ternyata adalah siasatnya untuk menyelamatkanku. Sidik jarinya telah menempel di benda laknat itu. Dan ternyata Pak Hendra juga bersekongkol dengan Ibu. Aku tak paham dengan cinta lelaki itu. Jika sorot matanya itu benar cinta, bagaimana bisa ia tega menjerumuskan Ibu ke dalam jurang kegelapan?
Ruang sidang diam saat mendengar kesaksian Rita. Dengan tenang ia bercerita bahwa Ovi telah salah tusuk saat perkelahian. Ovi histeris mendengarnya. Ia berteriak-teriak seperti hewan disembelih. Jika kesaksian Rita menang, itu memang kematiannya. Ia akan dicap sebagai pembunuh seumur hidup. Kalau bukan karena pengacaranya yang sangat tenang, mungkin ia akan terus menangis seperti anak kecil dituduh mencuri.
“Di pisau itu ada tiga sidik jari berbeda. Jadi bisa saja klien saya tak bersalah, Yang Mulia. Saya harap Yang Mulia sedia mendengar dan mencatat semua kesaksian dengan cermat. Karena seperti yang sudah diakui klien saya tadi, dia tidak menusuk korban. Tapi klien sayalah yang justru hampir menjadi korban.”
Rita bangkit dengan wajah merah padam, “Bagaimana bisa Anda bela orang yang jelas-jelas hendak memperkosa dan telah mencekoki adik saya dengan pil setan?! Orang macam apa Anda ini?!”
Begitu ribut. Palu Pak Hakim yang diketokkan berkali-kali hampir tak digubris. Setelah Rita berhasil dipaksa duduk, Hakim memanggil Mbok Ratmi.
Alangkah tercengang ruang sidang saat Mbok Ratmi akui kesalahannya sendiri. Bagaimana bisa sidik jarinya ada di pisau itu karena memang dialah yang telah salah menusuk Rini.
Saat itu Rini di bawah pengaruh pil setan pemberian Ovi. Rita memergoki binatang jalang itu sudah setengah telanjang. Perkelahian yang tak seimbang terjadi. Saat binatang jalang itu hendak kabur setelah menyudahi perlawanan Rita, saat itulah Mbok Ratmi datang dengan sebilah pisau dapur. Mbok Ratmi hampir berhasil menghabisi binatang jalang itu dengan sebuah tusukan di bahu. Tapi sebuah kesalahan tiba-tiba membuat pisau itu membelok menusuk Rini yang sempoyongan mencoba bangkit.
Hatiku mencelos saat Ovi diam saja mendengar kesaksian itu. Rupanya dia setuju atas pengakuan yang jelas telah meringankan dirinya. Kini hanya kesaksiankulah yang akan dijadikan pertimbangan akhir keputusan sidang.
Aku mulai merasakan benci dan kasihan saling bergulat saat Jaksa menatapku tajam dengan sebuah pertanyaan, “Nona Larasati, apa benar Anda melihat Ibu Ratmi telah salah tusuk?”
Rita menatapku penuh harap. Ada kaca-kaca di kedua matanya. Tiba-tiba aku sadar, permusuhan yang selama ini ia kobarkan terhadapku tak lebih dari rasa cemburu karena Mbok Ratmi masih memperlakukanku sebagai majikan.
Tapi rasa iba ini kemudian layu saat kutemukan wajah Mbok Ratmi, perempuan yang turut mengasuh dan membesarkan hatiku. Tega sekali Rita berbuat itu. Menjerumuskan dan mengorbankan ibu kandungnya sendiri!
“Saudari Laras, apa benar Anda melihat Ibu Ratmi telah salah tusuk?” tanya itu menarik kembara ingatanku.
Aku menggeleng lemah. Menunduk, tanpa berani melirik Mbok Ratmi.
“Maksud Anda apa, Saudari Laras?” Jaksa cerewet itu mendekat. Membuatku terpaksa mengangkat wajah lagi. Kulihat Mbok Ratmi menatap cemas. Lalu Rita, wajahnya sangat pias.
“Ritalah yang telah menusuknya, Pak. Mbok Ratmi datang terlambat saat terjadi hal itu.”
Rita berteriak menyumpah-nyumpahi aku. Seperti gemuruh mendung. Ruang sidang riuh. Lalu kuteruskan ceritaku.
“Aku membuatkan teh untuk Rita dan Ovi yang berbincang di ruang tamu. Mbok Ratmi ke pasar. Tak lama kemudian aku mendengar Rita memanggil Rini, Rita keluar entah ada perlu apa. Aku memang tak tahu apa yang sebenarnya terjadi karena setelah menghidangkan teh aku lalu rebahan ke kamarku. Sekitar satu setengah jam kemudian kudengar keributan itu. Aku melihat ketika Rita berniat menusuk Ovi. Tapi seperti yang telah diceritakan tadi, pisau itu malah mengenai Rini. Rita memang berhasil melukai Ovi, tapi Ovi berhasil menendang Rita hingga ia terbentur tembok. Ovi jatuh pingsan di depan kamar saat berniat keluar. Saat itulah Mbok Ratmi pulang.”
Rita pingsan. Mbok Ratmi masih juga menatapku. Tatap matanya mengingatkanku pada tatap mata Ibu saat mendengar kesaksianku.
* * *
“Makanlah, Mbok, nanti Mbok Ratmi bisa sakit,” coba kumasukkan sesuap nasi ke mulutnya. Tapi perempuan uban itu masih saja mematung. Hampir seharian beliau seperti itu. Diam. Terkatup. Tanpa sudi sedikitpun menolehku.
Mataku menghangat. Kuraih jemarinya yang dingin, “Maafkan Laras, Mbok…”
Kucium jemari itu selayak mencium jemari Ibu. Sungguh, dalam hatiku yang terdalam aku hanya tak ingin beliau menanggung yang bukan dosanya. Aku tak ingin kehilangan ibu untuk kedua kalinya. Kuberanikan lagi masuk ke dalam kelam mata tua itu. Allah... ke manakah cahaya itu?******
Kalinyamatan – Jepara 2012.annida online
Posting Komentar