fnc muslimah

Januari 2010.

Sore itu kau begitu semangat keluar dari toko berdinding kaca. Tangan kecilmu tak lepas dari kacamata berbingkai emas. Engkau berlenggak-lenggok penuh gaya memamerkan kaca mata barumu. Aku tahu engkau senang sekali. Aku juga senang meski aku tahu, bingkai itu bukan emas. Sudah berkali-kali aku katakan itu bukan emas asli, emas warna yang tidak cocok untuk anak-anak. Akan lebih baik kau pilih biru, kuning, pink atau warna lain yang lebih imut. Engkau telah menolak saranku dari jauh hari, engkau ingin warna emas. Terserah.

* * *

September 2009.

Aku menuntun motorku hati-hati memasuki rumah. Mengambil lap dan memasukkan mantel ke bawah jok. Kulihat gadis kecil itu masih sibuk mengancingkan baju seragam putihnya. Hari ini hari Senin, ada upacara bendera di sekolahnya. Nama panjangnya Melani, bukan Meilani atau Meylani, ia bukan lahir bulan Mei tapi bulan Juni, panggilannya Mela. Kulihat ia begitu kesulitan memasangkan kaitan dasi yang sudah rusak, intinya dasi yang setiap kali ia gunakan pasti akan tersangkut lama di leher, karena kaitan plastiknya sudah rusak. Aku tidak bisa menjahit, jadi kuberikan saja peniti kecil padanya untuk mengganti kaitan plastik yang rusak. Sayangnya itu bukan solusi yang baik. Hampir setiap hari ia pasti mengalami tragedi, kaitan dasi dari peniti itu sungguh sulit dipasangkan dan juga sulit dilepaskan. Pengait besi nan tipis itu berhasil mengerjai Mela setiap pagi, kasihan sekali gadis kecil itu. Ckckck.

Siapa peduli bajunya jadi jelek karena goresan peniti, bodoh sekali mengulang tragedi peniti setiap pagi. Aku sudah hilang kesabaran untuk memarahi, aku sudah muak dan bosan. Kini aku sudah terbiasa menyaksikannya sibuk dengan lilitan dasi menyebalkan itu. Kubiarkan saja.

“Cepat!” kataku tegas.

“Iya,” dasi itu berhasil terpasang, kurang rapi karena sedikit tergesa. Bergegas ia mengambil posisi di jok belakang, kubonceng untuk berangkat sekolah.

Ia anakku, baru kelas 5 SD. Ia anak yang tidak pintar tapi rajin, jujur rajin sekali. Aku sedikit heran, aku tahu IQ-ku sekitar 120. Tapi entahlah, menyebalkan sekali rasanya memiliki anak rata-rata seperti Mela, kadang tidak nyambung diajak ngomong. Tapi tak apalah, toh ia anak yang rajin dan tidak nakal.

Sepuluh tahun ini aku benar-benar berusaha sekuat tenaga menahan segala jerih hidup yang tiada terperi. Betapa teganya cintaku, Maya, meninggalkan aku dengan seorang bayi merah yang aku sangat jijik melihatnya. Kau tahu? Ia seperti anak tikus, merah, pipih dan ringkih. Aku bahkan tidak berani menyentuhnya selama beberapa minggu.

Aku frustasi, Maya mati ketika melahirkan bayi yang sama sekali tidak pernah kami harapkan kehadirannya. Sudah kukatakan aku akan menikahinya, aku bersumpah! Aku bilang padanya untuk menggugurkannya saja. Ia setuju. Namun memasuki minggu ke dua ,Maya berubah, ia jadi pendiam. Ia tidak bicara padaku, kerjanya hanya menangis saja. Kemudian ia memutuskan untuk membatalkan pengguguran bayinya. Murka ayahnya tak digubrisnya, ia memilih pergi dan tinggal bersamaku dan memaksa akan melahirkan.

Kau tahu, Maya adalah cintaku, cahayaku, jantungku, darahku, nafasku dan hidupku. Ia gadis yang menyenangkan, pintar dan sangat mengerti aku. Kami memang salah, kedekatan itu telah membuat kami salah langkah. Seharusnya sore itu kami ikut Didit ke labolatorium, tapi aku menahannya untuk sebentar menemani aku.

Oktober 2009.

Di sebuah sore,

“Pak…”

“Apa?” Aku terkesiap, obeng di tanganku jatuh ke lantai.

”Kaget ya, pak?”

”Kamu ngagetin aja.” Tuduhku.

“Hari ini ada PR Bahasa Indonesia. Mela diajarin ya.” Pintanya lembut dengan senyum manis terukir di wajahnya yang bulat.

“Bahasa Indonesia ,kan, gampang.” Kataku sambil menata obeng kecil-kecil dalam wadah kotak bekas biskuit.

”Yang ini agak sulit, Pak...” Dahinya sedikit berkerut. ”Yang ini lho pak...,” Ia bergegas mengambil tas sekolah dan mengeluarkan sebuah buku tulis lusuh. Aku sungguh tak suka melihatnya, melihat tas Mela, buruk sekali. Sungguh.

Rambutnya tidak teratur, sudah siang, pulang sekolah rambutnya memang demikian, berhamburan dari kuncirnya. Mela mengeluarkan sebuah buku besar yang sudah lusuh. Ia mulai mengeja,

“Ep...ep…pa….pak….Am…am...Amin..Pak..A..min.”

“Me..mem…bel….membeli…”

“Kan….kan…gu..uuuuung….”

Kau tahu, inilah hal yang paling menyebalkan tinggal bersama anak bodoh yang sama sekali tidak menuruni gen-ku. Seingatku Maya gadis yang pintar, aku juga tidak ingat mana dia ntara kakek nenekku yang berotak bebal.

Maya, wajahnya oval, hidungnya mancung dan matanya sipit. Ia cerdas, beberapa kali mewakili kampus untuk lomba debat ilmiah, beberapa kali mendapat juara untuk karya tulis ilmiah. Tulisannya dimuat beberapa kali di koran ibu kota. Ia kritis dan tajam dalam menganalisis. Tidak buruk, bukan? Ialah Maya, yang kemudian menjadi istriku. Kesepian dan tiada perhatian, membuatku menjadi raja yang berbahagia. Aku berhasil merebut hatinya, awalnya hanya teguran ringan, karena kutahu ia adalah tipe gadis cuek yang tidak banyak lelaki sudi berdekatan dengannya.

Sejak hari itu, kami dekat. Ia curahkan segala beban dan penderitaan hidupnya. Ayahnya keras tanpa ampun, ibunya terlalu sibuk ke luar negeri dan pulang sebulan sekali. Ia tertekan, ia sendirian, ia butuh bantuan. Sumpah, aku sungguh mencintainya, tak ingin melepaskannya, tak ingin kehilangannya. Ternyata penolong itu adalah aku. Dan pada akhirnya penghancur itu juga adalah aku. Jadilah, seorang gadis kecil di depanku ini sebagai ”barang peninggalan” Maya yang terakhir.

Tapi gadis kecil ini mempermalukan aku di depan kalian. Ia berwajah bulat, bermata bola dan berhidung kecil, ia berotak tapi tidak penuh. Mendengarnya membaca membuatku ingin muntah. Andai bisa aku ingin lari dari rumah dan sedikit menenangkan diri ke club seperti dulu. Lihatlah matanya begitu dekat dengan buku, nyaris tak ada jarak. Kampungan sekali!

“Pak..Amin..membel..li..kan..kan...” Kutarik buku lusuh itu, aku penasaran sekali dengan kata yang gagal ia baca.

“Kangkung, bodoh! En dengan ge dibaca eng.. Ingat, eng. Ini dibaca kangkung. Baca seperti itu saja lama sekali.” Aku mendengus kesal.

“He..he…” seperti biasa, umpatanku dibalas dengan senyuman malu-malu, wajahnya sama sekali tanpa dosa, padahal bila ia sadar, dosanya sudah begitu besar!

Ia telah membuat Maya mati dan membuat hidupku tidak pernah bahagia setelah itu. Hanya karena ia tak memiliki siapa-siapa lagi selain aku, terpaksa aku menghidupinya. Tak kan kubiarkan diriku menjadi kriminal demi menelantarkan anak kecil yang nyatanya anakku. Tidak berbobot sekali tingkat kejahatan yang aku lakukan. Aku malas masuk penjara. Ia mengedipkan matanya beberapa kali kemudian menekuri bukunya lagi.

Sudah kukatakan, ia bukan anak yang cerdas, tapi aneh sekali rasanya, kemampuan membacanya mengalami penurunan. Entah karena apa, mungkin karena akhir-akhir ini Mela sering main dan ngaji hingga larut. Pulang malam dan lelah, ia segera tidur.

Senin minggu lalu ia berkata, “Pak, Mela ngantuk, belajarnya sudah saja ya. Mela mau tidur duluan. Pintunya sudah tak kunci, tadi Mela dapat hadiah dari Pak Zainal karena sudah hafal bacaan tahyat awal.” Ia nyengir, memamerkan pensil hadiah dan kemudian berlalu. Aku diam saja, Mela pernah bilang sekali, “Pak shalat ya...biar masuk surga,” kemudian segera berlalu mengemasi tas sekolahnya. Aku diam saja, ingin marah.

***

Oktober 2009.

“Se..se…set…set…Pak, ini huruf apa ya?” Mela mendekatkan buku lusuh itu lagi untuk yang kesekian kalinya.

“Itu es-e-ti-i-a-pe, bacanya apa?”

“Oh, se...setiap. Terimakasih, Pak.”

“Har..hari…Pa..pak…tani..men…men.., yang ini apa ya, Pak?”

“Mencangkul, Mela…” Aku melotot, semakin gemas.

Oh, iya ding!” Ia nyengir.

Me…men…mengg..geg..geg….Pak, ini huruf apa ya?”

Kuletakkan serbet motor dengan tergesa, kesabaranku penuh, aku sebal sekali.

“Anak bodoh! Kamu ngapaian aja di sekolah? Kelas empat kemarin kamu sudah lancar membaca ,kenapa sekarang kamu jadi bego begini?!”

“Ma..af, Pak. Mela juga sudah berusaha membaca dengan baik. Sampai Mela pusing, tulisannya agak kurang jelas. Sepertinya tulisannya kurang besar. Besok Mela baca bukunya Dita aja.

“Ya sudah, masuk kamar sana!”

Aku tidak akan memukul anak itu, karena selama ini aku jarang, bahkan salaman dengan tangannya saja menyisakan sesuatu yang berat.

Aku hanya bisa menjadi tukang ojek yang berpenghasilan pas-pasan. Aku belajar menabung, entah untuk apa. Sadar ada anak yang menjadi tanggungan di sampingku, kini aku tidak pernah lagi menginjakkan kakiku di club atau ikut party, meski aku ingin sekali. Ada sesuatu yang mendorongku untuk terus menyisihkan beberapa rupiah setiap harinya.

Mela anak yang rajin dan patuh. Ia mau saja menuruti perintahku yang agak melelahkan.

“Mel, setelah cuci piring, sapu halaman belakang, ya. Banyak sampah, kamu kemarin pasaran sama Tuti, kalian jorok sekali. Setelah itu buang sampah dan ambil telur di kandang.” Setelah mengucapkan titah itu, aku rebahan di kursi dan mengatakan,

“Mel... air putih, pake gelas gede.”

Kau tahu, ia akan selalu menjawab, “Iya, Pak.” Ketika aku membuka mata dari ketiduran di atas kuri, segalanya sudah bersih dan rapi. Piring sudah dicuci, halaman belakang sudah disapu, telur dari kandang sudah siap di atas baskom, tumpukan puntung rokok di dalam asbak sudah hilang. Tak kusangka baju-baju kotorku juga sudah tergantung rapi di jemuran. Mela sudah mencucinya. Jadilah aku raja di rumahku sendiri.

***

Nopember 2009.

Ak….ak..akan….” Mela mulai mengeja bahasa Indonesia lagi.

“Mela, aku benci mendengar ejaanmu. Telingaku bisa rusak.” Kataku sambil membalik halaman Koran dengan kasar.

Engkau terdiam lama sekali, engkau benar-benar patuh. Ternyata engkau membaca dalam hati, padahal aku tahu kau sangat tidak suka membaca seperti itu. Mela sangat suka membaca, suka sekali.

Ada yang aneh, lamat-lamat kudengar suara seperti tangisan. Kubiarkan, tapi naluri kebapakanku bergolak, kali ini aku tidak bisa menuruti keacuhanku pada gadis kecil itu. Kuberjalan menghampirinya, aku mendekat padanya perlahan. Jujur sedikit canggung, karena aku jarang sedekat ini dengannya.

“Mela…,” panggilku perlahan.

“Hik….hik….mata Mela sakit sekali. Bapak tidak usah khawatir, mungkin besok juga sembuh, kok. Tapi Mela sedih karena akhir-akhir ini Mela sengaja tidak menunjukkan nilai ulangan kepada Bapak.” Aku baru sadar, setiap kali selesai ulangan, Mela akan menunjukkan nilainya yang bekisar antara 78 sampai 80 kepadaku dengan wajah ceria penuh cinta. Namun sudah seminggu ini aku tidak pernah mendapat kabar gembira tentang nilai-nilai ulangan yang amat ia banggakan. Ia tetap saja memamerkan nilai ulanganya meski aku hanya mengangguk tak tertarik dan segera pergi untuk menyibukkan diri. Entahlah, aku masih belum bisa menerima ia sebagai anakku. Berat. Maaf.

“Memangnya nilai ulanganmu kenapa?” Aku penasaran.

Nilai ulangan Mela seminggu ini jelak-jelek. Mela juga dimarahi Bu Guru. Tapi bagaimana lagi. Mata Mela sakit sekali. Sakit...” Air mata itu, untuk pertama kalinya meleleh di pipinya, juga di pipiku. Ini hari pertama aku melihat Mela menagis. Aku perih. Aku seperti jatuh ke dalam jurang tak berdasar. Aku merasa bersalah, sangat bedosa melebihi apapun sebelumnya.

* * *

Januari 2010.

Jawaban itu telah aku dapatkan, ternyata tabunganku selama ini telah dipersiapakan Tuhan untuk membeli kacamata bagi Mela. Selama ini ia terlalu banyak menyembunyikan sesuatu, ia hanya ingin berusaha memenangkan cintaku, ia berusaha menjalankan segalanya dengan sempurna. Ia menutupi terlalu banyak luka. Dan aku membiarkannya menganga. Aku berdosa.

* * *

Maret 2010.

Lambat-lambat aku mulai merasakan cintanya, aku mulai menemukan hatiku yang selama ini hilang, yang selama ini beku. Gadis kecil itu telah mencairkannya, tak kusangka ternyata obat yang selama ini kucari adalah malaikat mungil yang setiap hari berada di dekatku. Ternyata karena dialah aku masih bertahan, karena ditemani olehnyalah aku kemudian bergerak dan tidak putus asa. Itu kabar baiknya. Kabar buruknya, kini Melaniku telah tiada, kanker mata. Ia telah tinggal di pusara. Tak akan kudengar suara ejaannya lagi. Tak akan kulihat rumah dalam keadaan rapi, tak akan kutemukan bekas dedaunan hasil pasarannya dengan Tuti, tak akan kulihat lagi wajah bulat itu tersenyum penuh cinta kepadaku.

”Tuhan lebih sayang Mela, Ia mengambilnya lebih dahulu.” Sebuah tangan menyentuh bahuku.

Har, Tuhan tidak ingin membiarkan Mela hidup tanpa warna.

”Har, mata Mela adalah pancaran kasih yang tak akan pernah aku lupa.”

“Sabar ya, Har. Semua orang sayang Mela”. Orang-orang meninggalkan pusara.

Aku menahan bahu pak Zainal, ”Pak, saya mau belajar shalat...” ujarku pelan. Pak Zainal mengangguk pelan dan tersenyum di tengah air matanya yang aku tahu membanjir begitu deras.

Para pelayat itu adalah tetangga, para teman Mela. Aku sendiri, di samping gundukan tanah yang menimbun istriku, dan kini juga menimbun anakku. Kacamata berbingkai emas yang kubelikan sebulan lalu akan menjadi penyemangat dan penyulut lemahku. Aku akan bertahan, seperti selama ini engkau bertahan dalam setiap hari tanpa kebahagiaan bersamaku. Nak, semoga engkau masuk surga...

(Jogja 2010)

 
Label:
0 Responses

Posting Komentar