Saya mendatangi seorang guru yang bijak. Tapi guru ini rumit sekali, ilmu yang dibagikan olehnya selalu tidak langsung, penuh teka-teki dan perumpamaan. Padahal saya datang hanya untuk sebuah pertanyaan. Saya bilang, "Guru, bagaimana agar saya merasa cukup?"
Saya mengeluh dalam hati, ini akan jadi percakapan yang sulit, lihatlah, guru hanya menatap lamat-lamat.
"Guru, bagaimana agar saya merasa cukup?" Saya mengeraskan suara, takut sebelumnya tidak didengar.
Guru hanya menatap datar, seolah tidak mendengar, seolah tidak memperhatikan. Saya menyeka dahi yang berkeringat, bergumam dalam hati, memangnya saya batang pisang.
Tapi sebelum saya mengulang pertanyaan ketiga kalinya, guru akhirnya buka suara.
"Kau sungguh bertanya, atau sekadar basa-basi saja?"
Ya ampun, guru, saya menghabiskan waktu berhari2 hanya untuk menemuinya. Tentu saja saya sungguh bertanya. Memangnya ini sejenis tinggal kirim email, kirim surat, mudah sekali bertanya. Saya menemuinya lewat perjalanan panjang dan tidak murah.
Saya mengangguk mantap. Bergegas mengusir hendak berseru barusan.
"Baik. Maka akan aku berikan sebuah tugas sederhana." Guru mengangguk.
Saya semangat. Ini pasti sejenis tugas menantang sebelum guru bersedia menjawab. Sebuah tugas untuk pembuktian kalau saya sungguh2 memang bertanya. Bukan sekadar pertanyaan basa-basi: habis bertanya, dapat jawaban, mengangguk sebentar sok paham, lantas lupakan. Ini sungguh sebuah pertanyaan, yang jawabannya akan digigit hingga mati.
Guru menatapku tajam kali ini, suaranya lebih berat dan serius, "Nah, tugasnya adalah kau cari cara bagaimana mengeringkan sumur tua di komplek sekolah ini. Keringkan."
Well yeah, itu mudah, guru. Saya nyengir. Maka pertemuan itu selesai untuk sementara waktu. Besok pagi-pagi saya mulai mencari ember, mencari tali, lantas disaksikan beberapa murid guru lainnya, mulai menimba sumur tua itu, mengeluarkan seluruh isi sumur. Itu sumur tua, bau airnya, bahkan ada bangkai tikus di dalamnya. Tapi tidak mengapa, itulah poin penting tugas ini. Seharian penuh saya melakukannya. Selesai. Sorenya, bergegas menghadap guru, dengan badan penuh keringat, lumpur, dan bau.
Guru menggeleng. Saya menepuk dahi, menyesal terlalu cepat berpuas diri. Tentu saja tidak hanya satu tugas, pasti ada tugas berikutnya. "Kau keringkan rawa-rawa di belakang komplek sekolah. Habisi airnya. Itu tugas kedua. Kembali setelah selesai." Saya mengeluh dalam hati, itu tidak semudah mengurus sumur tua.
Besok pagi-pagi sekali, saya membawa seluruh peralatan yang tersedia. Rawa-rawa itu luasnya hampir satu hektar, ini tidak akan mudah dilakukan meski dengan bantuan selang-selang, pompa. Rawa-rawa itu dipenuhi nyamuk, serangga, ular berbisa, dan perdu berduri. Itu sumber penyakit bagi kampung. Berkubang mengeringkan rawa lebih sulit dibanding sumur tua. Butuh tiga minggu lebih hingga akhirnya semua air berhasil dikeluarkan. Ditambah harap-harap cemas kalau hujan turun.
Persis hari ke-27, setelah bekerja keras sepanjang hari, rawa-rawa itu kering. Saya bergegas menemui guru, dengan tubuh belepotan kotor. Kali ini, saya berhak atas jawaban tersebut. Benar-benar berhak. Itu bukan tugas sepele. Sial. Guru tetap menggeleng. Saya benar-benar mengeluh dalam. Ini serius sekali ternyata. Pertanyaan sederhana itu ternyata amat mahal harganya. "Kau keringkan danau di dekat kampung. Habisi airnya."
Ya ampun? Danau? Saya tidak sempat bertanya, protes, atau apalah. Saya sudah terduduk lesu. Murid-murid lain menatap prihatin, tapi mereka tidak berkomentar.
Besok pagi-pagi sekali, saya mendatangi danau itu. Luasnya sebelas hektar, menurut informasi penduduk setempat, dalamnya bisa mencapai sebelas meter. Astaga, ini tugas gila, bagaimana saya harus mengeringkan danau ini? Berhari-hari memikirkan caranya. Bermalam-malam mencari tahu bagaimana. Tidak ada solusinya, dengan ratusan pompa sekalipun, tdk mudah mengeringkan danau tersebut. Mata airnya menyembur dari mana-mana, banyak sungai bermuara ke dalamnya, meski ditutup sungai2 itu, tetap tidak mudah.
Di hari ke-7, saya menyerah, saya menemui guru.
"Saya tidak ingin lagi jawaban pertanyaan itu." Saya berkata pelan. Menunduk, "Saya mau pulang."
Guru tersenyum--untuk pertama kalinya.
"Kau sudah mendapatkan jawabannya, anakku."
Aku mengangkat kepala. Mulai jengkel, hei, dimana jawabannya? Sebulan lebih tinggal di sekolah itu, saya bahkan hanya disuruh jadi kuli. Menguras sumur tua, mengeringkan rawa-rawa.
Guru mengangguk, "Kau sudah mendapatkan jawabannya, anakku. Baiklah, akan aku jelaskan. Bukankah kau bertanya bagaimana merasa cukup, bukan? Maka anakku, kau bahkan tidak bisa mengeringkan danau itu. Padahal itu hanya tugas nomor dua paling sulit."
Nomor dua paling sulit? Memangnya ada tugas yang lebih sulit?
"Ada, mengeringkan lautan. Seluruh lautan di dunia ini, anakku. Apakah kau bisa mengeringkan seluruh lautan?"
"Itu mustahil!" Aku berseru.
Guru tertawa kecil, "Tentu saja tidak. Itu pekerjaan yang mudah saja. Bagaimana cara mengeringkan seluruh lautan? Maka jawabannya, kau jadikan airnya sebagai tinta untuk menulis seluruh nikmat yang diberikan oleh Tuhan. Bahkan habis sudah air lautan, tidak akan cukup untuk menuliskannya. Udara yang kau hirup. Kesehatan yang kau dapat. Mata untuk melihat, telinga untuk mendengar, kaki untuk melangkah. Tidak akan cukup untuk menulis seluruh nikmat Tuhan tersebut."
"Itulah jawabannya, anakku. Kau mudah saja mengeringkan sumur, kau juga keras kepala bisa mengeringkan rawa-rawa. Mungkin juga bisa mengeringkan danau jika diberikan peralatan raksasa, tapi kau ternyata tidak bisa mengeringkan lautan. Padahal apalah artinya seluruh lautan di dunia ini dibanding nikmat Tuhan. Maka, apakah kau sekarang bertanya bagaimana merasa cukup? Kau sudah mendapatkan jawabannya. Tinggal sekarang dipikirkan. Direnungkan. Sekali kau paham, gigitlah pemahaman itu hingga mati."
Aku menatap tikar pandan yang kududuki. Terdiam hingga matahari tumbang di kaki langit sana.
source: Tere liye
Posting Komentar