fnc muslimah

Inilah kelanjutan dari cerpen "aku ingin menjadi istrimu" karya bunda Asma nadia, sekuel keduanya ini nggak kalah bagusnya dengan cerpen pertamanya itu loh. bagi yang belum pernah baca silahkan baca disini tapi yang sudah baca boleh juga kok baca lagi.. he..he...^_^


Berapa banyak perempuan dalam hidupmu Bang? Berapa yang kau butuhkan?

Berapa banyak perempuan dalam hidupmu Bang?

Dulu kukira hanya aku. Hingga resahmu memecahkan batu kediaman. Pengakuan yang mengagetkan, dan rasanya akan sulit dipercayai siapapun yang mengenalmu.
"Aku… pernah menikah sebelumnya, Tya," ujarmu dengan putus-putus. Tiga hari menjelang pernikahan kita.

Kali ini aku berharap sedang tidur dan bermimpi. Nyatanya tidak. Kepalaku yang menunduk, masih dapat menekuri butiran-butiran tanah merah yang rekah di belakang rumah. Beberapa saat kita hanya berdiam diri, menikmati deburan hati satu sama lain. Kau dengan perasaan bersalahmu, dan aku dengan sebersit rasa kecewa. Ternyata aku bukan yang pertama.
"Tapi itu sebuah kesalahan," lanjutmu berusaha meyakinkan, dan mengusir embun yang memberat di mataku.

"Kami masih muda Tya. Dan ketika itu aku tidak seperti sekarang. Terlalu sering kami berdua hingga melakukan kesalahan itu. Maafkan aku."

Ego keperempuananku terusik. Begitu saja perasaanku melambungkan sederet pertanyaan. Siapa perempuan itu? Bidadari pertama yang menghangatkan hatimu. Cantikkah dia? Kenapa kalian berpisah?

"Belakangan kami sama-sama sadar, Tya. Tidak ada cinta. Yang ada hanya gejolak anak muda. Kami bercerai setelah tiga bulan pernikahan dengan kehangatan yang lama-lama meredup."
Aku masih diam. Dalam imajinasiku, tanah-tanah tempat kaki-kaki kita menapak seakan rekah dan meninggalkan jurang yang lebar. Memisahkan kau dan aku.

Tapi layakkah menghukum seseorang berdasarkan masa lalu?

"Maafkan aku," sesalmu lagi, dengan mata yang tampak memerah, ketika sekilas tadi tatapanku melintasi wajahmu.

Betapapun, perasaan beruntung mendapatkan anugerah itu jauh lebih besar dibandingkan badai yang kau bawa di hatiku hari itu. Jangan sombong Tya, kau sendiri siapa? Masih banyak gadis yang akan mengejar bang, meskipun tahu yang sebenarnya. Meski tahu kesalahan yang pernah diperbuatnya, dan status yang pernah disandangnya.

Kubuang air mata yang sempat memberati kelopakku. Kutengadahkan wajah. Kulihat wajahmu bercahaya, dan senyum lebar yang menghiasi di sana, kala pernikahan kita terlaksana. Walaupun ego sebagai perempuan, kadang sulit menghilangkan keingintahuan itu. Sebahagia ini jugakah kau dulu, Bang?

"Terima kasih Tya. Terima kasih telah melengkapiku, Cinta."

Kata cinta yang kau ucapkan, tak lama setelah ijab kabul selesai dan mengantarkan kita pada status yang baru. Kau suamiku, dan aku istrimu.

Setelah itu adalah hari-hari indah menjelajahi negeri peri. Berdua kita menyelusuri dunia yang memberi bahagia tanpa batas. Tak ada kata-kata yang bisa kutemukan untuk menjelaskan perasaanku saat itu, ketika aku menjadi perempuan satu-satunya dalam hidup Bang.

Lalu hari membuahkan minggu, dan minggu melahirkan bulan. Begitu cepat bilangan bulan berganti tahun. Waktu telah memberi kita bahagia yang lain. Gadis kecil kita. Matanya mewarisi sipit matamu, dan bibirnya mewarisi mungil bibirku. Setidaknya itulah komentar pertama yang keluar darimu ketika melihat Aulia.

Hidup tak lagi menjadi milik berdua. Tapi aku tak pernah marah pada makhluk ketiga yang hadir dalam hari-hari kita. Aulia yang begitu cepat tumbuh dan semakin menggemaskan.

"Terima kasih telah memberiku kebahagiaan sebesar ini, Cinta."

Berulang-ulang kalimat itu kau tujukan padaku dengan mata yang semakin dilekati cinta. Cinta yang bergulir dan kulihat semakin besar di matamu. Apalagi ketika sosok lain lahir dari rahimku. Gagah, lucu dan montok. Kau memberikan nama Aditya untuk bayi kedua kita.

Masih ingatkah Bang, saat kita duduk di teras rumah, dengan satu sosok mungil di pangkuan masing-masing. Mengenalkan mereka kepada bulan, bintang, dan langit. Juga benda-benda angkasa lain.

"Ayah akan bekerja lebih keras." Katamu sambil memandang wajah imut Aulia, yang masih berceloteh, dan Adit yang terkantuk-kantuk dalam buaianku.

"Tapi beri anak-anak waktu. Terutama ibunya," bisikku yang kau balas dengan mendekatkan wajahmu, lalu mengecup dahiku. Penuh cinta, seperti biasa.

Hari-hari kita tetap indah, betapapun kesibukan menjeratmu. Sebagai istri, aku hanya bisa mendukung sebisanya. Menyiapkan kebutuhanmu sehari-hari, sebelum pergi ke kantor, menyambutmu ketika pulang. Menjaga tidurmu ketika anak-anak rewel minta bermain dengan ayah mereka yang pulang menjelang pagi.

Di mataku kau tak pernah berubah. Masih laki-laki yangs ama yang selalu jujur dalam setiap langkah.laki-laki yang mengangkatku pada kedudukan para ratu. Begitu tinggi aku memandangmu, Bang. Sosok kukuh bertanggung jawab yang tak pernah sedikit pun kehilangan pesona di mataku.

Maka seperti petir memekakkan telinga, ketika suatu hari seseorang memberitahu kabar itu. Kau diam-diam menjalin hubungan dengan perempuan lain.

Kupeluk anak-anak dalam tangis yang tak bisa kutahan. Sungguh, aku tak habis pikir. Belum lagi hilang rasa sakit akibat opersi Caesar. Belum lagi kembali bentuk tubuh setelah berat badanku melonjak saat mengandung Aditya.

"Ibu kenapa?" tanya Aulia yang memasuki usia empat tahun. Jarinya yang kecil menghapus air mata yang turun di pipiku, sebagian membasahi wajah Adit, yang kuhapus dengan jemari bergetar.

Semua kebahagiaan yang kurasa lebih dari sempurna, tak cukupkah bagimu? Dimana salahku?

Pada cermin lemari, kupandang tubuhku yang jauh dari bentuk ideal. Inikah penyebabnya? Lemak menimbun di mana-mana. Pesona yang telah mengendur dan layu. Inikah yang membuatmu berpaling?

"Sabar, Tya. Ini memang cobaan perempuan." Suara Ibu mertuaku parau, saat memelukku. Belakangan, perempuan berusia enam puluhan itu menangis makin keras. Barangkali seperti aku, Ibu bisa melihat kebahagiaan kita yang pecah, seperti bintang di langit yang terbanting ke bumi. Kepingan-kepingan nya melukai begitu banyak hati.

"Maafkan aku, Tya. Maafkan aku, Cinta. Ini salahku."

Malam itu kau memeluk kakiku. Sementara aku hanya termangu, tanpa bisa bicara. Meski cairan bening hangat yang berasal dari matamu, membasahi daster panjang yang kukenakan.

Berapa banyak perempuan dalam hidupmu Bang? Berapa yang kau butuhkan?

Permintaan maafmu tak mengubah keadaan. Berbulan aku larut dalam kediaman yang membuat otak seakan berhenti berfungsi. Kecuali kewajiban terhadap anak-anak, lainnya tak kupedulikan. Wajahku kuyu, dengan mata bengkak karena setiap malam menangis. Kepercayaan diriku drop. Aku merasa seperti bunga yang dipangkas dari tangkainya, dan layu sebelum waktu.

Berbulan pula kucari jawaban atas sebuah kenapa yang tak pernah bisa kau jelaskan. Apakah karena aku sedah menjadi begitu tua, gembrot, dan jelek? Bagaimana pun, melahirkan dua anak telah merenggut tubuh ramping dan kesegaran perempuan muda.

Aku benar-benar kehilangan semangat untuk melakukan apa pun. Hingga setahun berlalu, aku bahkan belum berani bercermin dan menatap tubuhku di sana. Tubuh yang tak lagi menarik.

Pasti itulah alasan kenapa suamiku jatuh cinta pada perempuan lain. Cantik, sudah kulihat foto mesra mereka berdua. Kemana sikapmu yangbegitu terjaga semasa kuliah? Kenapa kini begitu mudah menyentuh, bahkan memeluk mesra perempuan yang belum menjadi istrimu?

Tapi kalimat-kalimat itu tak pernah kusampaikan padamu. Hanya menari-nari dalam pikiran yang kian kusut dari waktu ke waktu. Waktu yang kerap membawa anganku berpindah-pindah, masa lalu, masa kini, masa lalu, masa…

"Maafkan aku, Tya. Maafkan aku, Cinta."

Dihadapanmu aku masih larut dalam diam. Teringat satu hal yang kutelan mentah-mentah pada hari penuh madu yang memabukkan. "Pegang kata-kata ku, Tya. Selamanya, aku hanya akan memberimu kebahagiaan. Bukan yang lain. Pegang itu, ya?"

Kebahagiaan? Kata itu telah melayang jauh diantara bintang-bintang, bulan, dan langit yang dulu kita kenalkan pada anak-anak. Saat duduk bersama di beranda rumah. Ketika cinta masih bisa ku percaya.

Selama dua tahun kemudian, aku hidup dengan perasaan kosong. Berulang kali berusaha bangkit, untuk dua permata kecilku yang kini memasuki usia sekolah. Tapi lebih sering gagal. Hingga suatu hari kulihat Aulia tiba-tiba begitu dewasa. Waktu, telah begitu lama kah berlalu?

"Bu, Ibu harus tersenyum lagi." Begitu kalimat Aulia sambil tangannya menarik ujung ujung bibirku ke atas.

Ya Allah, hidup memang tak pernah mudah. Salahku yang melupakan cobaan.

Tertatih kucoba bangun dari hampa. Semua menyambut baik dan mendukung, juga suamiku. Tidak kupusingkan lagi hubungan Bang dengan perempuan itu. Sampai suatu hari ibu mertuaku datang dan membawa kabar. "Mereka sudah putus, Tya. Sudah putus. Alhamdulillah!"

Bibirku yang kering bergerak-gerak. Ada air mata yang jatuh disana.

"Kau tidak usah cemas, Tya," nasihat perempuan itu lagi, "waktu akan menyembuhkan kesedihan."

Begitulah, pagi ini untuk yang pertama kali aku berani menatap tubuhku di cermin. Entah bagaimana, sepertinya kesedihan juga telah menghilangkan sebagian berat badanku. Tentu saja mustahil mengharapkan tubuhku kembali dalam kondisi terbaik seperti dulu.

"Kau harus rajin minum jamu!" kata ibu mertuaku sambil menyodorkan segelas air berwarna kecokelatan dan berbau seperti lumpur. "Laki-laki suka dengan perempuan yang biasa minum jamu."

Sementara Ibuku yang sejak peristiwa itu seperti ingin menjaga jarak dengan masalah pribadiku, kali ini datang dan memberiku sebuah nasihat. "Ikut senam, Tya. Banyak ibu ibu yang rajin senam sekarang."

Begitulah, kututup lembar kesedihanku dan berusaha bangkit. Bibirku yang kering mulai kusapu dengan lipbalm. Aku semakin sering tersenyum. Seiring waktu, jendela-jendela kamar kubuka dan kubiarkan terkena cahaya matahari. Aku keluar dari sunyi.

Bang memperlakukanku lebih hati-hati. Masih ada cinta yang berpendar di matanya. Kami mulai sering duduk berdua lagi, dan berbicara tentang anak-anak. Barangkali Cuma anak-anaklah yang masih menyatukan kami hingga saat ini.

Aku memang bukan siapa-siapa Bang, bukan seperti perempuan cantik dan populer yang sempat merebut Abang dari sisiku. Tapi bahkan seorang perempuan sederhana berhak merasa terluka. Walau demikian, kukayuh sebisaku bahagia untuk mengembalikan senyum pada kami. Hari-hari mengalir. Bang mendorongku untuk belajar lagi.

"Biar Tya punya kesibukan. Kenapa tidak kuliah lagi?" usul Bang suatu hari.

Bayangan cantik yang tersenyum renyah dalam pelukan Bang, menyedot ingatanku. Perempuan cantik yang terlihat elegan dan berpendidikan tinggi. Bayangan itu membangkitkan rasa cemburu dan semangat kompetisiku. Maka kuanggukkan kepala menyetujui usulnya untuk melanjutkan kuliah. Bahasa Inggris menjadi pilihanku.

Untuk membantu menangani anak-anak di rumah, Bang memintaku mempekerjakan seorang baby sitter. Aulia sudah besar, dan bisa mengurus diri sendiri, tapi Aditya yang berusia empat tahun masih membutuhkan tangan lain. Aku setuju. Bang sendiri yang mengurus semuanya karena aku sibuk meyiapkan berbagai kelengkapan pendaftaran sebagai mahasiswa baru.

Syukurlah, aktivitas baru mengembalikan rasa percaya diriku. Kembali belajar, bergaul dengan teman-teman yang berusia jauh lebih muda, membawa kesegaran dalam hidupku. Ah, terkadang aku lupa usiaku yang tak lagi remaja.

Kebahagiaan seolah kembali dalam genggaman. Bang yang pengertian dan tidak pernah marah, bahkan meskipun tak jarang tugas-tugas kuliah membuatku pulang terlambat. Aulia semakin besar, dan Aditya kian lucu dan menggemaskan. Baby sitter yang baru telah mengurus anak kedua kami itu dengan sangat terampil. Aku sungguh berterima kasih padanya.

Perlahan pula perasaan cintaku yang sempat menguap kepda Bang, kembali. Dari situ aku tahu, sebetulnya perasaan itu tak pernah benar-benar hilang.

"Aulia, Adit… lihat nih Ibu kalian pintar, kan?" pertanyaan Bang yang dilemparkan pada kedua buah hati kami membuat perasaanku bungah. Indeks prestasiku memamng cukup membanggakan. Diam-diam aku berterima kasih pada sosok cantik yang tampak pintar, namun tak pernah ku kenal namanya. Sosok yang membuat suamiku beralih dariku, namun menyadarkanku untuk kembali memiliki cita-cita.

Aku ingin cerdas, ingin pintar. Ingin bisa menjawab pertanyaan apa saja yang Bang lemparkan. Aku ingin bisa meladeni kebutuhan intelektualitasnya sehari-hari. Keinginan itu sungguh menjadi bahan bakar dalam menjalani hari-hari kuliahku. Juga dalam mempercantik dandananku yang cenderung monoton dan tua.

"Duh, Ibu makin muda aja dandanannya ya, Aulia?" Begitu komentar Bang kerap kali, yang disambut acungan jempol si sulung.

Namun luka yang berusaha kujahit rapat-rapat, pecah lagi malam itu. Membuat bumi tempat berpijakku bergoyang, nafasku tersengal, dan kepalaku berkunang-kunang. Ketika dengan map penuh dalam tas, aku berlari-lari kecil menembus hujan lebat, memasuki perumahan tempat kami tinggal.

"Jadilah istriku." Suara itu terdengar seperti nyanyian masa lalu, namun begitu jelas meski hujan tak sedikit pun menyisakan ruang buat kesenyapan.

Di depan pintu, aku terpaku.Kau berada tidak jauh dari hadapanku. Seperti dulu, dengan penuh cinta menatap, bahkan kali ini dalam jarak lebih dekat dari yang bisa kuingat. Pada jarak itu pasti aku bisa mendengar gemuruh hatimu, bahkan mencium aroma nafasmu.

"Jadilah istriku," katamu lagi.

Dan perempuan di dalam rumah, yang kupercaya mengurus Adit saat hari-hari kuliah menjeratku, mengangguk perlahan. Malu-malu. Begitu nyata dalam pandangan, meski kabut kemudian menghalangi penglihatan ketika tiba-tiba saja sesuatu pecah dari mataku.

Ah, berapa banyak perempuan yang ada dalam hidupmu, Bang? Berapa yang kau butuhkan?

Dulu sekali, kukira Cuma aku.


*picture : http://www.desainkawanimut.com/

Label:
0 Responses

Posting Komentar