fnc muslimah

Cahaya mentari berwarna emas menandakan awal pagi, kemilaunya menembus pijaran kaca masjid, menyilaukan sepasang mata yang baru saja menyelesaikan wirid paginya setelah mengerjakan shalat subuh berjamaah. Sebelum beranjak menuju kembali ke rumah, Ryan menyempatkan diri tuk shalat sunah dua rakaat, sesaat setelah matahari terbit.


Selesai shalat, tanpa sedikit-pun pudar dari ingatannya, Ryan bergegas untuk pulang dan bermaksud menelpon Ira, sesuai kesepakatan tempo hari
“Assalamu’alaikum..” terdengar suara lembut seorang wanita diujung telpon sana, serta merta tercipta gemuruh di dada Ryan, tak terasa telah hampir dua bulan sejak saat Ryan dan Ira sepakat untuk berpisah setelah proses taaruf mereka tak berlanjut, suara itu tak pernah terdengar lagi di telinga Ryan, menyeruak rasa rindu di batinnya.

Betapa tidak, sejak saat mereka sepakat untuk berpisah, tiba-tiba sikap Ira berubah, tidak pernah sekalipun bersedia untuk berbicara via telpon apalagi bertemu langsung, paling bisa sebatas sms saja. Ryan menangkap sinyal-sinyal aneh tersebut, seakan Ira ingin hilang dari peredaran, ada apa gerangan? Menyisakan sebuah lubang tanya besar di hati Ryan, walau tak berapa lama lubang tersebut tertutupi akan sebuah jawaban, ternyata Ira sedang dalam proses ta’aruf dengan seorang ikhwan, strata-nya jauh diatas Ryan, merupakan seorang mahasiswa pasca sarjana di perguruan tinggi ternama di Indonesia.

“Wa’alaikum salam.. ukhti khaifa haluk?”

“Thoyib, syukron” jawab Ira, lebih kurang sepuluh menit berlalu, mereka coba untuk berbasa-basi sekenanya, dan tanpa membuang waktu Ryan tanyakan sesuatu yang menjadi biang penasaran dihatinya.


“Afwan ukh sebelumnya, ada hal ingin ana tanyakan ke anti. Apakah anti telah mantap untuk menikah saat ini dengan si fulan?”

Ira terkejut, pertanyaan macam apakah itu? pikirnya. Bukankah kemarin malam Ira telah mengatakan pada Ryan bahwa saat ini dia beserta keluarga sedang mempersiapkan walimahan, bukan sekedar tahap ta’aruf lagi, masih perlukah pertanyaan tersebut diutarakan? Ira hati-hati menjawabnya.

“Bismillah, ana mantap akh..” Hanya itu jawaban Ira.

“Hmm.. apa yang membuat anti mantap?”


Inikah yang ingin antum tanyakan dan bahas dengan ana.

“Akh.. mungkin antum masih ingat, bahwa ana melakukan ini pertama-tama karena ana ingin abi dan umi bahagia, bagi ana kebahagiaan orang tua adalah segala-galanya, dan antum pastinya juga paham bahwa ridho Allah tidak akan turun melainkan karena adanya ridho Allah. Ketahuilah akh….” Ira menghentikan kalimatnya, ragu-ragu apakah akan menyampaikan satu hal yang selama ini ia simpan, tak sekalipun pernah ia sampaikan kepada Ryan. Terdorong akan setangkup asa agar Ryan bisa lebih mengerti, akhirnya Ira utarakan.

“heu…hikz..” sambil tersedu-sedu, dan terbata-bata karna tak sanggup menahan tangisan pilunya, Ira coba menguatkan hati, “Ketahuilah akh.. pernah suatu waktu ana dipanggil oleh abi, untuk berbicara secara empat mata, saat itu abi marah besar begitu tahu bahwa selama ini kita masih berkomunikasi, kemudian ana diceramahin dan pada akhirnya abi berkesimpulan bahwa..” kembali Ira menghentikan kalimatnya.

“Abi katakan bahwa ana anak yang durhaka!! Ana divonis abi sebagai anak durhaka karena tidak mengikuti perintah abi untuk menjauhi dan meninggalkan antum” serta merta air mata mengalir deras dari sepasang mata wanita itu. Betapa berat beban yang harus ditanggungnya, perih batinnya mengingat kejadian itu.

“Sekarang ana tanyakan kepada akhi, wanita mana yang sanggup menerima beban itu akh, wanita mana yang batinnya tidak nelangsa saat orang tua yang sangat amat dicintainya sampai mengatakan hal demikian, wanita mana yang sanggup akh?!.. Seandainya akhi berada di posisi ana masih bisakah akhi memilih? Demi Allah akh.. keputusan berpisah dengan akhi merupakan keputusan tersulit yang pernah ana ambil, dan wallahi akh.. wallahi.., perih dan sakit sekali perasaan ana saat memutuskan itu, kita sama-sama terluka akh, saat keadaan memaksa kita untuk memilih, saat itu pula kita sadar bahwa kita hanya manusia.” Isak tangis Ira kembali membuncah, kali ini lebih dalam, karena tanpa sadar dia harus mengingat kembali kejadian tersebut, kejadian yang sekuat tenaga ingin dilupakannya.

Ryan menutup rapat mulutnya. Mencoba untuk menstabilkan situasi. Sejenak dia biarkan Ira hanyut dalam tangisnya, memberikan kesempatan bagi Ira untuk menemukan ketenangannya sendiri. Sedikit terbata Ira melanjutkan,

“Beranjak dari apa yang ana sampaikan tadi akh, kiranya antum bisa mengerti keadaan sebenarnya, lalu jawaban untuk pertanyaan akhi tadi, mengapa ana mantap untuk menikah dengan si fulan, karena ana mengharapkan ridho Allah yang tidak akan turun melainkan dengan adanya ridho orang tua, mereka meridhoi si fulan untuk menjadi suami ana bahkan merekalah yang memilihkannya untuk ana, dan perlu akhi ketahui.. bahwasanya ana telah memikirkan secara matang sebelum menerima khitbah, sebelumnya ana telah berkomunikasi dan berta’aruf dengan si fulan, dan dari interaksi tersebut ana yakin insya Allah dia orang yang baik dan agamanya lebih baik daripada ana. Satu hal lagi akh...”

Ryan belum memberikan respon apapun, walau batinnya sudah tidak sabar ingin menyampaikan sesuatu yang penting kepada Ira, namun untuk sementara dia simpan dahulu.

“Satu hal lagi akh yang insya Allah dapat memuaskan batin antum.. Dulu antum pernah meminta ana untuk menikah dengan lelaki yang padanya ana memiliki kecendrungan, Alhamdulillah akh... terhadap si fulan ana memiliki kecendrungan, sungguh untuk melupakan akhi merupakan perkara yang luar biasa sulit, tapi Alhamdulillah akhirnya hati ana luluh juga dan sekarang ana telah mampu untuk melupakan akhi, dan dengan begitu ana berharap akhi bisa mengiklaskan ana menikah dengan lelaki lain, seperti yang pernah akhi ikrarkan..”

Ryan seakan tak percaya, perkataan tersebut keluar dari lisan Ira, lalu masuk melalui gendang telinganya untuk kemudian menuju hatinya, hati yang baru saja sembuh tersebut mau tak mau harus menerima pecutan kembali. Untunglah akalnya masih fit dan kecerdasannya belum beranjak untuk meninggalkan Ryan lagi.


Ryan sadar dia harus menunaikan janjinya kepada Ira, tak mengapa pikirnya, bukankah dia sudah berkomitmen seandainya harus memilih, dia akan memilih Allah dengan menerima takdirnya, sudah seharusnya.

“Baiklah ukh, jika memang ukhti telah memiliki kecendrungan kepadanya, ana bisa mengikhlaskan anti tuk menikah dengan lelaki lain dan ana pegang omongan anti..!!”

Huff.. berat sekali rasanya aku harus mengatakan ini.

“Alhamdulillah dengan begitu ana menjadi lega, tapi.. terlepas dari itu semua ana ingin bertanya satu hal kepada anti mengenai hadits Rasulullah yang bersabda : “Ridho Allah tergantung kepada keridhoan orang tua dan murka Allah tergantung pada kemurkaan orang tua”. Apakah benar hadits tersebut bersifat mutlak ukh?“

“Maksud antum?”


“Apakah benar ridho dan murka Allah selalu tergantung pada ridho dan murka orang tua..?”

Tak ada jawaban dari Ira.

“Tidak selalu ukh. Tidak selalu Allah menggantungkan ridho dan murka-Nya kepada ridho dan murka orang tua. Sekarang ana bertanya pada ukhti, apakah Allah akan menurunkan ridho-Nya kepada sahabat Mush’ab bin Umair andaikan saja dia mengikuti kehendak ibundanya yakni Khunais binti Malik yang terkenal berkepribadian kuat dan pendiriannya tidak dapat ditawar dan diganggu gugat, untuk kembali pada kekafiran, sedangkan hal tersebut tentu saja akan mendatangkan ridho ibundanya. Apakah hal tersebut akan mendatangkan ridho Allah ukh? Tentu tidak kan ukh..?”

Keheningan masih menyelimuti diri Ira, dia diam dan menyimak.

“Bukankah Allah berfirman dalam surat Al-Ankabut ayat 8: ‘dan Kami wajibkan kepada manusia (berbuat) kebajikan kepada orang tuanya. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu maka janganlah kamu mengikutinya. Hanya kepada-Ku lah kembalimu, lalu Aku kabarkan padamu apa yang telah kamu kerjakan.”

“Bukankah dengan apa yang ana lakukan, ana telah melaksanakan perintah Allah dalam surat yang baru saja akhi baca, toh orang tua ana tidak menyuruh ana untuk mempersekutukan Allah, jadi dimana letak salahnya?” jawab Ira spontan.

“Masya Allah ukh, ana sama sekali tidak bermaksud untuk mengatakan orang tua anti menyuruh anti untuk mempersekutukan Allah, tidak sama sekali ukh, afwan jika perkataan ana kurang berkenan dihati anti, tapi inti dari ayat tersebut ialah saat kita mematuhi perintah orang tua kita, kita lihat terlebih dahulu konteksnya ukh, apakah perintah tersebut tidak bertentangan dengan perintah Allah lainnya, baik yang terdapat pada Al-qur’an maupun sunah”

“Hmm.. jadi menurut akhi ana tidak memperhatikan perintah Allah lainnya? Atau bahkan ana melanggar perintah Allah lainnya? Bisa akhi tunjukan perintah Allah mana yang akhi maksud..” tanya ira tak mengerti.

“Bismillah.. Allah berfirman pada surat An-Nisa ayat 59: ‘Hai orang-orang yang beriman patuhilah Allah, Rasul, dan pemimpin diantara kalian. Abi ukhti merupakan pemimpin dalam keluarga ukhti dan wajib hukumnya bagi ukhti untuk mematuhi perintah beliau, tapi ukh, ketahuilah.. ulil amri menempati kedudukan ketiga dalam hirarki kepatuhan, setelah Allah dan Rasul-Nya. Konsekuensinya apa? Ukhti wajib mematuhi perintah ulil amri yakni abi ukhti, selama perintah tersebut tidak bertentangan dengan perintah Allah dan Rasul-Nya.

Sekarang ana bertanya, apakah bersesuaian dengan perintah Allah dan Rasul-Nya apabila ada seorang ayah melarang putrinya untuk menikah dengan seorang lelaki, sementara sebab pelarangan tersebut diluar faktor agama? Bukankah masih pada ayat yang sama Allah berfirman: ‘Apabila kamu berselisih pendapat akan suatu hal, maka kembalikanlah hal tersebut pada Allah dan Rasul-Nya jika kamu betul-betul beriman pada Allah dan hari akhir’. Maksudnya ayat tersebut apa ukh? Tak lain seolah-olah Allah ingin mengatakan: wahai orang-orang beriman jikalau kalian berselisih pendapat terhadap suatu hal, dimana hal tersebut kelak akan berimbas terhadap kepatuhan kalian pada para pemimpin kalian, maka kembalikanlah perselisihan tersebut pada Allah melalui kitab-Nya yakni Al-Quran dan Rasulullah melalui sunahnya. Jadikanlah Al-quran dan As-sunah sebagai acuan atau parameter bagi kalian untuk menentukan siapa yang lebih benar.”


“Tapi akh..?!”


“Afwan ukh, izinkan ana menyelesaikan pembicaraan ana terlebih dahulu... pasti anti ingin mempertanyakan kembali perintah Allah yang ana maksud. Sekarang ana tanya kepada ukhti, sudahkah ukhti dan keluarga memperlakukan ana dan si fulan secara adil? Sudahkah ukhti dan keluarga berlaku adil pada saat mempertimbangkan khitbah ana dan si fulan? Sudahkah itu ukh? Bukankah Allah memerintahkan kepada kita melalui firman-Nya pada Surat Al-Maidah ayat 8: ‘berbuat adillah, itu lebih dekat kepada taqwa, bertaqwalah...”
Kebisuan tercipta sejenak..

“Ya ukhti, sesungguhnya didalam islam kita diajarkan untuk mengedepankan etika tabayyun (klarifikasi/ check and recheck). Pada saat ukhti dan keluarga menerima khitbah dari si fulan sudahkah ukhti melakukan tabayyun atas latar belakang dia dan keluarganya..?”


“Tentu saja sudah akh. Orang tua ana telah mengenal baik si fulan dan keluarganya, dia orang yang baik dan berasal dari keluarga baik-baik, dan hal tersebut pulalah yang menjadi dasar pertimbangan ana dan keluarga menerima khitbahnya.”


“Justru disitu sangat terlihat jelas ukhti dan keluarga tidak berlaku adil terhadap ana dan si fulan.”

“Tidak adil gimana….?!” Ira keheranan.

“Ukh.. Sesungguhnya ana heran... mengapa pada saat keluarga ukhti menolak ana, saat itu tanpa melakukan tabayyun secara menyeluruh, mereka menolak ana secara sepihak. Tetapi pada saat keluarga ukhti menerima khitbah si fulan, mereka melakukan tabayyun terlebih dahulu. Tidak layakkah ukh ana mendapat perlakuan yang sama?! Ukh.. ana tidak akan mempertanyakan hal ini seandainya saja ana tidak mempunyai kapasitas yang sama dengan si fulan, bukankah ana dan si fulan merupakan dua lelaki yang pada kami ukhti memiliki kecendrungan. Seandainya saja ukhti tidak mencintai ana dan menerima khitbah ana secara pribadi.. takkan ana bertanya tentang keadilan.”

Ryan tak mendengar suara apapun dari ujung telpon sana, dia tidak tahu hal apa yang saat ini sedang berkecamuk di hati dan pikiran Ira.

“Sudahkah ukhti tanyakan kepada abi sebelum ukhti menerima khitbah si fulan: ‘wahai ayahandasesungguhnya ayahanda telah menerima khitbah si fulan, tak lain karena ayahanda telah mengenal dan melakukan proses tabayyun atas diri fulan dan keluarga, tapi sudahkah ayahanda melakukan hal yang sama terhadap Ryan? Jika belum hendaknya ayahanda lakukan juga proses tabayyun terhadap diri Ryan dan keluarga, hendaklah ayahanda menjadi pemimpin yang adil, karena duhai ayahanda, disebabkan rasa sayang yang teramat besar dari ananda untuk ayahanda, ketahuilah ayahanda bahwa setiap kita adalah pemimpin, dan akan dimintakan pertanggung jawabkan atas kepemimpinannya, untuk itu ayahanda... lakukanlah juga proses tabayyun terhadap diri Ryan dan keluarga, dan apabila setelah proses tersebut ayahanda tetap merasa bahwa Ryan tidak pantas untuk ananda, maka dengan kelapangan dada dan mengucapkan bismillah ananda mantap menerima khitbah si fulan’. Sudahkah itu anti tanyakan kepada abi anti..??.


Hiks..Hiks.. Hanya suara tersebut yang terdengar dari Ira, Ryan menebak mungkin Ira sedang menangis.

“Wahai ukhti.. beranikah ukhti mengucapkan kepada ana ucapan berikut ini: ‘Demi Allah akh, ana haqul yakin, seandainya saja keluarga ana melakukan tabayyun terhadap antum, maka hasilnya akan sama saja, mereka tetap akan menolak antum’. Beranikah ukhti mengucapkan hal tersebut? Ukh.. ana yakin pada saat ukhti menerima ana.. tidaklah fisik ana yang menjadi faktor ketertarikan ukhti, karena ana tahu, bahwa banyak ikhwan-ikhwan lain yang ukhti tolak lamarannya jauh lebih baik fisiknya daripada ana, dan tidak pula ukhti tertarik pada kekayaan ana, karena berapa banyak ikhwan yang jauh lebih mapan dari ana, ukhti tolak pinangannya. Ana yakin ukhti menerima ana insya Allah karena agama ana, karena ana paham ukhti bukanlah wanita jahil yang menjadikan fisik dan kekayaan sebagai faktor utama. Pertanyaan ana selanjutnya, sudahkah abi ukhti memposisikan diri sebagai orang tua yang bijak, yang mau merangkul ana untuk diajak bicara dari hati ke hati, mengayomi ana dan memberikan nasehat kepada ana jika ada sikap ana yang tidak berkenan dihati beliau, mau mendengar penjelasan atau klarifikasi ana atas apa yang terjadi, memberi ana kesempatan untuk membela diri, jika itu hanya sebuah kesalah pahaman saja, tidak memvonis ana hanya dengan melihat sikap ana sekilas dan untuk selanjutnya berdasarkan prasangka belaka, karena sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dusta. Sudahkah hal tersebut dilakukan ukh…?!” Uneg-uneg yang sedari dulu disimpan Ryan, sedari dulu ingin disampaikannya, kini membuncah keluar.

“Ukhti, Allah memerintahkan kita untuk menjadi seorang muslim yang kaffah, tidak fair apabila kita mengikuti perintah Allah yang satu sementara perintah lainnya kita nafikan, ukhti telah mengikuti hadits Rasulullah mengenai ridho orang tua, tetapi sudahkah ukhti memperhatikan dalil lainnya? Hendaklah kita bertahkim pada hukum Allah baik yang mengenakan maupun tidak, baik yang menguntungkan kepentingan kita maupun tidak, jangan setengah-setengah ukh dalam bertahkim terhadap hukum Allah.

Allah berfirman melalui Surat An-Nur ayat 48-51: ‘Dan apabila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya, agar rasul menghukum (mengadili) di antara mereka, tiba-tiba sebagian dari mereka menolak untuk datang. Tetapi jika keputusan itu untuk (kemaslahatan) mereka, mereka datang kepada rasul dengan patuh. Apakah (ketidak datangan mereka itu karena) dalam hati mereka ada penyakit, atau (karena) mereka ragu-ragu ataukah (karena) takut kalau-kalau Allah dan rasul-Nya berlaku dzalim kepada mereka? Sebenarnya, mereka itulah orang-orang yang dzalim. Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya agar rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan. "Kami mendengar dan kami patuh." Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung!".

Tentunya ukhti tak ingin bukan, Jika hanya menjadi seorang muslim tanpa harus mencapai derajat sebagai seorang mukmin? Bukankah Allah pernah mencela bani Israel melalui Surat Al-Baqarah ayat 85: ‘Apakah kamu beriman pada sebagian kitab dan ingkar terhadap sebagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia dan pada hari kiamat mereka dikembalikan pada siksa yang sangat berat..”

cerocoh ryan panjang lebar. Batinnya puas sekali kini sudah bisa melontarkan beban batin yg selama ini mengganggu pikirannya.

“Cukup akh.. cukup.. ana tidak kuat lagi mendengarnya” tangis yang tadi berusaha untuk dibendung Ira, meledak, membahana menerjang arung perasaannya.


“Mengapa akh, mengapa baru sekarang antum katakan hal ini pada ana? Mengapa tidak dari dulu saja akh? Mengapa pada saat ana menawarkan kepada akhi untuk berpisah, mengapa akhi mengiyakan, kenapa akhi tidak berusaha tuk mencegahnya dan mengatakan tidak akh, mengapa?! Allahummaghfirlana, sakit sekali rasanya akh.”

“Ukh..” entah mengapa tiba-tiba sebutir air bening turun dari mata Ryan, Ryan menangis. Ryan menyeka air matanya. “Ukh.. pernahkah ukhti memberi ana kesempatan untuk mengatakannya? Adakah ukhti bertanya dan berdiskusi kepada ana sebelum ukhti menerima khitbah? Karena tahukah ukhti.. tanpa ukhti sadari jauh didalam lubuk hati ukhti, sebenarnya ukhti tahu bahwa ana tidak akan setuju, untuk itu ukhti selalu ingin menghindar untuk membahasnya dan mengambil keputusan sendiri. Ketahuilah bahwa hingga saat ini, hanya ada dua orang wanita yang sanggup memaksa ana meneteskan air mata untuk mereka, yang pertama umi dan kedua adalah ukhti, dan dari apa yang ana katakan itu, ana yakin ukhti pasti mengerti bagaimana istimewanya posisi ukhti dihati ana”

“Akhi..” Ira kembali menangis, “Allahummaghfirlana, allahummaghfirlana, ya Allah tunjukan kesalahan apa yang telah kami lakukan pada-Mu ya Robbana, hingga kami harus menanggung semua ini, Allahummaghfirlana.”

Dua anak manusia itu sama-sama menangis, setangguh apapun mereka, tampaknya saat ini Allah tengah mengibaskan sayap-Nya untuk menghembuskan angin kasih sayang, hingga tanpa terasa hal tersebut telah menyentuh sisi manusiawi Ryan dan Ira, mereka-pun menangis bersama.

“Tahukah akhi.. pada saat ana menawarkan perpisahan bagi kita, sesungguhnya ana berharap akhi tidak mengiyakan tawaran tersebut. Ana seorang wanita akh, dan karena hal tersebut ana terlalu malu untuk mengatakan yang sejujurnya, bahwa ana... ah sudahlah akh. Lagipula ana telah melakukan sholat istikharah dan dari sholat tersebut hati ana cenderung untuk mengikuti keinginan keluarga.”

Benar juga jika ada yang mengatakan bahwa wanita itu tercipta dari Sembilan perasaan dan satu akal, sementara lelaki tercipta dari Sembilan akal dan satu perasaan. Berkata Ryan didalam hati.

“Ukhti.. ukhti.. fiqih mahzab mana yang mengatakan bahwa istikharah itu merupakan media ikhtiar? Bukan ukh, bukan.. sesungguhnya itu merupakan media tawakal, media yang digunakan jika kita telah berikhtiar semampunya. Sudahkah ukhti berikhtiar secara maksimal? Ukh.. dari dulu hingga saat ini ana tidak pernah meminta ukhti untuk memilih antara ana atau keluarga ukhti, tidak pernah ukh.. tidak pernah sama sekali terlintas dihati dan pikiran ana apalagi sampai mengatakannya.. yang ana inginkan ialah ukhti berada disamping ana, bersama-sama ana berjuang untuk meyakinkan keluarga ukhti, sudahkah ikhtiar tersebut dilakukan? Lalu tidaklah valid hasil dari istikharah ukhti jika sebelumnya ukhti telah memiliki kecendrungan terhadap salah satu pilihan, ukhti harus netral dan membiarkan Allah memberikan keputusannya dihati ukhti, ukhti wajib menyerahkan dan bertawakal kepada Allah atas pilihan tersebut, dengan begitu insya Allah hasil dari istikharah ukhti bisa shahih. Tidak selamanya ungkapan hati menjadi pembenaran atas segala perkara. Hati bisa dimintakan fatwa dalam permasalahan yang bersifat umum dan mungkin tidak dijelaskan secara detail perbedaan dan batasannya dalam nash-nash al-Qur’an dan sunnah. Tegasnya, suara hati tidak boleh mengalahkan petunjuk dalil yang jelas tertera dalam Al-Qur‘an dan sunnah. Bila ada fatwa yang jelas berlandaskan dalil syar’i maka wajib setiap muslim untuk mengutamakannya, meskipun hal itu tidak membuat hatinya puas…, demikian dijelaskan dalam kitab Al-Wafi Imam An-Nawawi, ya ukhti. Ana memahami ukhti seorang wanita, yang mungkin lebih mengedepankan perasaan, sehingga ukhti tidak bersikap netral, bukankah telah terdoktrin didalam diri ukhti bahwa kebahagiaan orang tua adalah segala-galanya, dan ridho Allah tergantung pada ridho orang tua, jika telah begitu, bagaimana mungkin ukhti bisa bersikap netral.”
Kebimbangan menerpa Ira, tanggapan yang harus diberikan.

“Afwan akh, waktu kita untuk bicara mungkin tinggal beberapa menit lagi, ana harus bersiap untuk berangkat mengajar. Atas apa yang telah akhi sampaikan, ana ucapkan terima kasih, namun mengingat keadaan saat ini, ana sebaiknya gimana?”

“Jika ukhti tetap mantap untuk menikah dengan si fulan, mulailah saat ini berusaha lebih keras lagi untuk belajar mencintai si fulan, karena jika tidak.. akan bertambah panjang daftar orang yang akan terdzalimi, yang pertama adalah ukhti karena mengorbankan perasaan dan membohongi diri sendiri. Orang kedua adlh ana, karena tidak diperlakukan secara adil, dan ketiga mungkin si fulan, karena amat sangat dzalim jika ukhti mencintai dan menikahi lelaki yang berbeda, dan jika ukhti ragu, mintalah petunjuk Allah melalui istikharah, tapi ingat ukhti harus netral sebelumnya, serahkan semuanya kepada Allah, tinggalkanlah yang meragukanmu kepada yang tidak meragukanmu, ingat ukh.. keputusan ukhti akan berpengaruh tidak saja bagi urusan dunia ukhti tetapi juga akhirat ukhti, ukhti saat ini telah menjadi seorang mukallaf, apapun yang akan ukhti lakukan di dunia ini akan ukhti pertanggung jawabkan di akhirat kelak, pertanggung jawaban tersebut bukan kepada abi ukhti tetapi kepada Allah, harap diperhatikan tatkala Allah berfirman pada penutup Surat Al-Ankabut ayat 8: ‘Hanya kepada-Ku lah kembalimu, lalu Aku kabarkan padamu apa yang telah kamu kerjakan, lalu ukh....”

Sekilas Ryan menerawang ke relung masa silam, saat dia dan Ira dipertemukan untuk pertama kalinya, saat semerbak duniawi dan wangi ukhrawi menebar dan menuntun mereka untuk membangun sebuah taman.. yakni pernikahan, namun sayang.. kembang-kembang yang akan ditanami sudah terlanjur layu sebelum waktunya.

“Patut untuk diketahui bahwasanya dahulu ana mencintai dan ingin menikahi ukhti karena Allah, agama ukhti-lah yang menjadi kunci untuk membuka pintu hati ana yang selalu tertutup rapat, dan ana yakin ukhti pun demikian halnya, sehingga kita dulu pernah dipertemukan dan sepakat untuk bersatu dalam tali pernikahan karena Allah, untuk itu ana ingin kita-pun sepakat untuk berpisah karena Allah, inilah yang menjadi niat ana untuk bicara kepada ukhti pada kesempatan kali ini, ana ingin memastikan bahwa kita saling bertemu, mencintai dan berpisah karena Allah, sesungguhnya salah satu golongan yang mendapat naungan Allah di hari kiamat kelak yang tiada nanungan selain naungan-Nya pada hari itu ialah orang-orang yang saling membenci dan mencintai karena Allah, kemudian sepakat bertemu dan berpisah karena Allah. Apabila perpisahan yang menjadi takdir-Nya, maka keridhoan hati untuk menerima hal tersebut tanda bahwa kita berpisah karena-Nya. Amin.. Allahumma amin.


Satu hal lagi ukh yang ingin ana katakan, jika diberi kesempatan ana ingin mengisahkan cerita kita dan menjadikannya sebuah novel mungkin, kiranya nanti dapat dijadikan ibroh bagi mereka yang akan menikah, memilih jodoh, dan juga bagi orang tua yang ingin menikahkan putra-putrinya, dan kemarin ana sempat menuliskan sebuah syair untuk ukhti, telah ana kirim via email ukhti, mungkin syair tersebut merupakan kata-kata terakhir dari ana untuk ukhti sebelum menikah. Terakhir ana ingin meminta maaf kepada ukhti dan keluarga jika ada sikap dan perbuatan atau juga lisan ana yang tidak berkenaan dihati ukhti dan keluarga, akhirul qalam, subanakallahumma wa bihamdika asyhadualla ilaha illa anta, astghfiruka, astaghfiruka, astaghfiruka ya Allah wa ‘atubuilaik, Assalamu’alaikum.”


“Tits..” bunyi telepon terputus. Dan Ira jatuh pingsan di kursi.


TAMAT.

Label: ,
0 Responses

Posting Komentar