Untukmu yang
namanya telah tercatat sebagai sandal kiri
Ini penawaran
yang kurangkai untukmu
Sebuah surga
yang berpijak dari kesederhanaan cinta
Bukan
syair-syair pujian berselimut kefanaan
Bukan…
Bukan kesenangan
manusia kebanyakan
Karena kau
sebuah sandal yang lahir dari rasa yang kubangun
Karena aku
bersyukur kau bukan sepatu kaca penuh gemerlap
Namun kau
pelengkap segala asa
Segala daya
Segala cita
Dariku, Sandal
Kanan
***
Kutatap
lekat-lekat wallpaper bergambar sebuah sandal yang disertai rangkaian kata-kata
puitis itu. Tertuju kepada siapakah surat mini itu? Apa untukku?
Dalam
diam, aku tertegun sejenak. Ya, itu memang laptop kepunyaannya. Kepunyaan
lelaki berwajah syahdu itu. Terakhir kali yang kulihat bukan gambar dan
kata-kata itu yang menghiasi desktopnya. Apa karena aku akan memakai laptopnya
maka ia mengganti wallpapernya? Apa ia berharap aku membacanya?
Sejumlah
tanya yang menari-nari di kepalaku tak kubiarkan mengusik perhatianku terlalu
lama. Aku mulai mengalihkan perhatian dengan berselancar di dunia maya. Membuka
email, blog, juga facebook. Ah, statusnya muncul paling atas di berandaku.
Bismillah… Memulai perjalanan pulang, kembali ke peraduan. Semoga selalu
diiringi ridho-Nya, bunyi statusnya. Bersahaja. Selalu begitu.
Bukan
kata-katanya yang bersahaja saja yang menarik perhatianku, tapi juga foto yang
menghiasi foto profilnya. Foto sandal. Sebuah sandal sebelah kanan, tanpa
pasangannya sang sandal sebelah kiri. Sesaat timbul dalam pikiranku untuk
mengganti foto profilku menjadi foto sebuah sandal sebelah kiri. Namun, kutepis
dengan cepat. Beragam hal berpasang-pangan diciptakan di dunia ini, banyak yang
begitu menarik dan menawan. Jadi kenapa harus sandal menjadi pilihannya?
“Ne,
aku cuma punya sebelah sayap kanan yang tak kan bisa membuatku terbang.
Bagaimana pun, aku sudah menganggapmu sayap kiriku, sudah sejak lama,” kata
Faris di suatu sore. Faris adalah temanku sejak kecil, tetanggaku.
“Terkadang
kita bisa saja salah mengira, Ris. Lelaki yang baik sepertimu akan menemukan
pasangan sayap yang lebih baik,” ucapku sambil berlalu, meninggalkan Faris yang
membisu di halaman rumahku.
Faris
sangat baik. Mempunyai pendidikan yang baik, pekerjaan yang baik, dari keluarga
yang baik-baik. Terlebih lagi, ia punya pemahaman agama yang baik. Namun,
namanya tak pernah muncul dalam jawaban-jawaban doaku. Tak pernah terlintas
meski aku telah istiqarah berkali-kali. Meski ia begitu ideal untuk dijadikan
pasangan hidup, tetapi tetap aku tak bisa memaksakan diri jika keyakinanku tak
pernah muncul untuk menerimanya.
Maka,
disinilah pilihanku berlabuh. Pada senyum lelaki bersahaja itu. Pada lelaki
yang nyaris tak kukenal itu. Tiga bulan sudah aku berusaha menyelami hatinya
lebih dalam. Banyak tanya yang ingin aku ajukan untuknya. Termasuk masalah
sandal ini.
Masalah?
Ya, masalah. Dulu, Faris dengan kesantunannya menyebutku sayap kirinya.
Sepasang sayap lumayan indah untuk menjadi pengandaian. Tetapi tak cukup untuk
meluluhkan hati seorang perempuan sepertiku. Dan kini harus kudapati lelaki
yang menjadi pilihanku menyebutku sandal kirinya!
Aku
tak marah, dan tak perlu marah. Hanya saja istilah sandal itu sangat mengganggu
pikiranku. Aku berpikir, mungkin aku sebegitu buruknya, sehingga ia kesulitan
untuk menemukan sesuatu yang lebih istimewa untuk menyebut dirinya dan diriku.
Sebutan sepasang sandal yang menjadi pilihannya jelas mempunyai alasan
tersendiri.
Aku
mulai mencoba searching di internet, tentang ungkapan seorang pasangan kepada
pasangannya. Hanya untuk mengobati tanda tanya dihatiku. Tetapi jelas-jelas
jawaban yang muncul semakin mengusik hatiku, semakin membuatku menjadi tidak
berarti apa-apa.
Kau
adalah pasangan sayapku. Kau adalah tulang rusukku yang hilang. Kau adalah
bidadari hatiku. Kau adalah sekuntum bunga di taman indah. Kau bagai rembulan
bagiku. Kau adalah permaisuri dan aku rajanya. Kau adalah… Ah, semua terdengar
begitu indah untuk diungkapkan.
Kau
adalah sebuah sandal kiri dan aku sandal kanan. Kuketik sebaris kalimat itu.
Search. Seperti yang kuduga, no results found. Tidak ditemukan. Tak ada seorang
lelaki pun yang menyebut dirinya sandal kanan, dan menyebut pasangannya sandal
kiri.
Aku
mulai merasa sedikit panas. Lebih lama, kuamati lagi wallpaper yang mengusik
perhatianku itu. Kubaca lagi baris-baris kata dalam surat mini tersebut. Mendalam.
Kata-katanya sangat memukau, tentu saja kecuali sebutan sandal itu. Pikirku
masih melayang-layang jauh memikirkan itu semua ketika kudengar suara
langkah-langkah kaki di depan rumah.
Aku
mencoba mengintip dari jendela. Kulihat seorang lelaki melangkah mendekati
pintu rumah. Dia sudah sampai rupanya. Laki-laki itu, lelaki yang melamarku
tiga bulan yang lalu. Anak dari teman ibuku. Lelaki bersahaja itu tak begitu
kukenal, tapi dengan mantap ia melamarku dan aku dengan mantap pula
menerimanya. Tanpa pikir panjang, seolah batin kami telah terikat begitu lama.
Aku
membukakan pintu untuknya, menyambutnya dengan wajah yang berusaha kubuat
ceria, menutupi pertanyaan-pertanyaan di kepalaku yang terlontar sedari tadi
untuknya. Ia datang dengan senyum lebarnya, dengan salam yang seketika
menyejukkan rumahku yang semula terasa panas. Kujawab salam itu dan kucium
tangannya.
Tanpa
kata-kata aku mengikutinya ke kamar. Ia langsung bersiap-siap hendak mandi
rupanya. Diraihnya handuk sambil memandangiku cukup lama. Aku menjadi salah
tingkah dibuatnya.
“Apa
ada yang ingin kamu tanyakan, Ne?” tanyanya lembut. Hebat. Ia bisa menebak isi
pikiranku walau hanya dengan menatap wajahku.
“Kenapa
tak menanyakan kabarku?” tanyaku sedikit merajuk, berbalik menanyainya. Satu minggu
ia pergi meninggalkanku keluar kota karena urusan pekerjaannya, tetapi tak
terucap sepatah katapun darinya menanyakan keadaaanku.
“Aku
sudah tau bagaimana keadaanmu hanya dengan melihatmu,” jawabnya singkat. Aku
sedikit tersipu dibuatnya.
“Apa
benar itu yang ingin kamu tanyakan?”
“Hmm,
sebenarnya…sebenarnya, kanapa menyebutku sebagai sebuah sandal? Kenapa bukan
sepatu kaca?” Aku bertanya sambil melirik pada laptopnya, membuatnya juga
melirik ke arah yang sama. Kurasa, akhirnya ia menyadari kemana arah
pembicaraanku.
“Dengar,
Ne. Sudah kutuliskan, bukan? Aku bersyukur kamu bukan sebuah sepatu kaca.
Karena jika kamu sepatu kaca, maka, jangankan untuk menjadi pendamping hidupmu,
memimpikan bisa berada di dekatmu pun aku tak bisa. Karena aku hanya sebuah
sandal sebelah kanan, tak kan pernah cocok bila dipasangkan dengan sebuah
sepatu kaca sebelah kiri.” Penjelasannya yang cukup panjang semakin membuatku
tersipu.
“Kenapa
tidak menggunakan istilah yang lebih istimewa?” Meski telah tertunduk malu, aku
masih belum puas bertanya.
“Kebanyakan
orang menanggalkan sepatunya dan menggunakan sandal melangkah ke rumah Allah,
Ne. Itu hanya untuk memotivasi diri kita, bahwa seburuk-buruknya kita memiliki
keistimewaan, bila kita dapat memaknainya dari sudut pandang yang berbeda. Kamu
mau selalu menemani orang yang buruk sepertiku ini kan, Ne?” Aku mengangguk
cepat dengan wajah yang semakin merona, tersipu malu.
Sebelum
ia berlalu ke kamar mandi, ia tersenyum begitu lebar kepadaku sambi
mengusap-usap kepalaku. Persis seperti ketika aku kecil dulu, pengurus masjid
mengusap-usap kepalaku dan anak-anak lain setelah menyerahkan santunan anak
yatim dari jamaah masjid kepada kami. Dan usapan itu selalu membuatku bahagia.
Seperti sekarang, membuatku tersenyum lebih lebar dan lebar.
Mungkin
aku saja yang terlalu sulit memahami. Banyak orang berharap mendapat sebutan
atau gelar yang begitu meninggikannya, tetapi tak menyadari bahwa sejatinya
gelar tidak mempengaruhi kualitas diri. Nilai seseorang sesungguhnya, dilihat
bagaimana dirinya bersikap, sejauh apa ia mendalami makna hidup dan kehidupan
ini sebenarnya. Dan dia, lelaki yang menjadi imamku itu mengajarkanku tentang
hal ini lewat pilihan kata sederhana. Sesederha cintanya yang berujung surga.
Sebelum
ia selesai mandi, aku telah selesai mengetikkan untaian kata-kata untuk
membalas surat mininya. Tak ketinggalan disertai gambar sebuah sandal.
Kujadikan wallpaper laptopnya, dan berharap ia suka membacanya nanti.
***
Untukmu sandal
kanan yang bersahaja
Kuterima
penawaranmu dengan senyum cinta beriringan doa
Kesederhanaan
cintamu menyadarkanku,
bahwa inilah
arti hidup yang dianugerahkanNya
Apalah artinya
sebuah sepatu kaca
Bila
langkah-langkah tulus tak kunjung didapatinya
Namun, sosok
sepertimu yang orang anggap biasa
Menempati tempat
yang luar biasa dalam ruang rinduku
Dalam syukur,
aku bahagia menjadi pelengkap hidupmu
Maka, bimbinglah
aku ke jalan itu
Ke tempat segala
asa, daya dan cita bertahta
Dariku, Sandal
Kiri
***
Padang, 2013
sumber: annida-online.com